Mayjen TNI Farid Makruf: Anak Pedagang Kelontong itu Kini Jadi Kaskostrad
Jakarta, IDNtribune.com – Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak M.Sc., memimpin upacara serah terima jabatan strategis di lingkungan TNI AD, bertempat di Markas Besar Angkatan Darat, Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Panglima Kodam V/Brawijaya Mayor Jenderal TNI Farid Makruf menjadi salah seorang perwira di lingkungan TNI yang mendapat promosi jabatan. Farid dipromosi menjadi Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kaskostrad).
Adapun Pangdam V/Brawijaya selanjutnya akan dipimpin Mayjen TNI Rafael Granada Baay. Rafael sebelumnya adalah Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres). Sedangkan Farid menggantikan Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa yang dipromosi menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Mutasi tersebut berdasarkan Surat Keputusan (SK) Panglima TNI Nomor Kep/1384/XI/2023 Tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI. SK tersebut ditandatangani Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada Rabu (29/11/2023).
Masa Kecil hingga Remaja Farid
Farid lahir di Desa Petrah, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan, Madura pada 6 Juli 1969 bisa jadi membuat Farid Makruf cocok dengan karakter Korps Pasukan Khusus yang garang.
Terlahir dari keluarga pedagang kelontong di pasar Tanah Merah, sekitar 21 kilometer dari Bangkalan, Farid Makruf kecil sudah belajar memahami karakter masyarakat. Seperti Emha Ainun Nadjib, budayawan kesohor bilang bahwa pasar adalah universitas terbaik. Di pasarlah, segala macam karakter orang bertemu.
Bekal itulah yang dibawanya hingga menjadi komandan di beberapa satuan. Kemampuannya memahami karakter anak buah dan cepat tanggapnya atas kebutuhan anggota membuatnya akrab tapi tetap disegani.
Farid Makruf remaja seperti juga kawan sepantarannya tentu saja ada bengal-bengalnya. Tapi soal patuh pada orang tua, dia jagonya.
“Ibu saya suka memberi pekerjaan mengantarkan pesanan orang pada saya. Kalau sekarang itu seperti Gosend ya. Ibu tinggal bilang, Rid, antar barang pesanan orang ini. Pesanan ini bisa berupa beras, bumbu, telur atau gula,” tuturnya mengisahkan masa kecilnya.
Soal Farid yang sangat patuh pada ibunya diakui oleh Dr. Mutmainah, adik kandungnya yang juga Dosen Sosiologi di Universitas Trunojoyo Madura.
“Kakak itu sangat patuh. Kalo tidak bermain di sungai, bermain bola di lapangan berlumpur dengan teman-temannya dia pasti di pasar membantu ummi. Kalau di rumah dia suka membaca. Apa saja dibacanya, bahkan novel cerita silat Kho Ping Khoo. Kakak juga suka menggambar. Dia pernah menggambar sosok samurai yang menjadi idolanya,” tutur Mutmainah.
Di lain waktu, Farid sendiri juga berkisah tentang kenangannya saat bersekolah. Saat SMP dan SMA, ia harus bangun lebih awal dari yang lainnya agar bisa menumpang truk pengangkut batu, atau pick up pengangkut palawija bahkan ikan untuk sampai ke Bangkalan. Jaraknya 21 Kilometer dari Petra.
“Tujuannya menghemat ongkos angkutan. Di waktu lain saya menumpang teman saya yang punya Vespa,” aku Farid Makruf.
Nah, di saat SD atau SMP itu saban Sabtu, ia tak masuk sekolah. Alasannya, Sabtu itu hari pasar. Dia harus membantu ibunya di pasar untuk mengangkut barang. Ada pula tambahannya; Dia bisa dapat tambahan uang saku.
Pengalamannya hidup di lingkungan pasar, bertemu dengan orang dengan karakter beragam, kemampuan beradaptasi dengan situasi, dan berkomunikasi dengan banyak orang terbawa hingga menjadi komandan satuan.
Setamat SMA, ia sudah mendaftar ke Institut Pertanian Bogor dan kemudian lulus. Suatu waktu bapaknya membawa brosur Akabri dan menunjukkan padanya. Farid Makruf remaja tertarik. Bapaknya pun bertanya, sembari menunjukkan daun pisang; “Rid, ini warna apa?” Ia menjawab; “Warna hijau.” Bapaknya pun langsung menyambung; “Bila begitu, ikut saja test Akabari. Sebab kalau kamu jawab itu biru daun, kamu bakal tak lulus.”
“Bapak sengaja bertanya begitu karena kebiasaan orang Madura yang menyebut warna biru daun untuk daun yang berwarna hijau. Jadi semuanya biru,” kisahnya sembari tertawa.
Farid pun pun mencoba mendaftar dan setelah melalui serangkaian test, ia lulus.
“Alasan saya waktu itu karena kuliah IPB maka tentu saja orang tua saya akan mengeluarkan biaya banyak, sementara masih ada kakak saya yang kuliah. Saya pun mendaftar di Akabri dan lulus. Dan itu tanpa katabelece atau orang dalam ya,” kisahnya kemudian.
Ditugaskan di Sierra Leone
Lulus dari Akabri, ia langsung diperintahkan masuk Korps Pasukan Khusus, pasukan elit yang sudah tersohor sejak lama itu. Pada 1992-1994 ditugaskan di Timor Timur. Pada 2003-2004, Farid Makruf yang masih berpangkat Kapten ditugaskan bergabung dengan UNAMSIL (United Nation Mission in Sierra Leone). Misi ini dibentuk oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak Oktober 1999 untuk membantu pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian Lomé, sebuah perjanjian yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang saudara Sierra Leone, Afrika Barat.
Setelahnya, sejumlah penugasan dilakoninya termasuk menjadi Danrem 162/Wira Bhakti, Mataram 2016-2018 sampai Danrem 132/Tadulako, Palu. Di Palu, ia menjadi wakil Penanggung Jawab Kendali Operasi (PJKO) Operasi Tinombala, kemudian Operasi Madago Raya yang memburu kelompok sipil bersenjata Mujahiddin Indonesia Timur.
Bertugas di Palu, tak ubahnya mengulang apa yang sudah dikerjakannya di Mataram, NTB. Di Bima, dia melakukan upaya menghadang laju tumbuhnya radikalisme. Saat gempa bumi Lombok 2018, ia menjadi Komandan Satuan Tugas Penanggulangan Darurat Bencana. Itu pula yang dihadapinya pasca bencana dahsyat Padagimo – Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong. Selain menjalankan tugas keseharian sebagai komandan satuan, ia juga menjadi Komandan Satgas Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Sulteng.
Gaya kepemimpinannya di satuan militer dan penugasannya bersama orang-orang sipil terpola dengan baik. Ia punya prinsip; Pemimpin yang baik itu tak harus berharap pujian, Ia cuma berpikir apa yang dilakukannya bisa bermanfaat buat orang banyak.
“Menjadi pemimpin itu berarti harus bermanfaat buat orang banyak,” kata anak lelaki pasangan H. Raden Mochammad Munir dan Hj. Siti Amina ini.
Kemampuannya melakukan penggalangan para pihak patut diancungi jempol. Para Akademisi, komunitas budayawan, seniman, pecinta senjata tradisional, dan olahragawan diajaknya bertemu. Mulai dari berdiskui hingga membuat kegiatan-kegiatan edukatif dan informatif, bahkan menerbitkan sejumlah buku. Buku Tadulako, Leluhur Sulawesi Tengah; Dari Mitos ke Realitas yang ditulisnya dianggap sebagai salah satu buku referensi akademik yang penting.
Sekarang, peraih magister dalam bidang kajian keamanan dari University of Hull, Inggris itu sedang menjalani studi doktoralnya di Pasca Sarjana, Universitas Tadulako. ***
Leave a Reply