Jakarta, IDNtribune.com – Penangkapan sejumlah tersangka baru dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah PT Timah Tbk senilai Rp271 Triliun telah mengejutkan publik. Berbagai spekulasi muncul terkait potensi kerugian negara yang disebut mencapai Rp271 triliun dalam kasus tersebut.

Dua dari 16 tersangka yang telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) adalah sosok yang cukup dikenal dalam masyarakat. Di antaranya adalah Helena Lim, yang dikenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK), serta Harvey Moeis, suami dari aktris Sandra Dewi.

Harvey disebut-disebut sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (RBT), yang diduga menerima uang hasil korupsi melalui dana corporate social responsibility (CSR) dari para pengusaha.

“Dalam beberapa pertemuan, akhirnya disepakati bahwa kegiatan pertambangan liar tersebut akan di-cover dengan menyewa peralatan processing peleburan timah, yang kemudian Harvey menghubungi beberapa smelter, termasuk PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung, Kuntadi, setelah Harvey ditetapkan sebagai tersangka di Kejagung pada Rabu (27/3/2024).

Harvey dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, Harvey juga ditahan oleh Kejaksaan Agung untuk kepentingan penyidikan.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, menegaskan bahwa penyelesaian utama dari permasalahan korupsi di sektor pertambangan harus dimulai dari aparat penegak hukum (APH). Menurutnya, saat ini tersangka yang ditetapkan Kejagung adalah pemain-pemain kecil.

“Dalam kasus korupsi timah di Bangka Belitung, yang menjadi tersangka saat itu adalah pemain-pemain kecil, seperti jajaran kepengurusan perusahaan atau manajemen yang bertindak sebagai operator,” ujar dia seperti dilansir CNNIndonesia.com.

“Kejagung tampaknya belum memiliki keberanian untuk mengungkap peran aparat penegak hukum, misalnya Kepolisian yang diduga terlibat dalam membiarkan tambang ilegal beroperasi, dan kemudian melakukan kerja sama dengan PT Timah agar terlihat sah secara regulasi,” tambahnya.

Melky menduga bahwa indikasi keterlibatan aparat dalam praktik korupsi di tambang timah sudah terbuka sejak tahun 2019. Namun, tiba-tiba pemerintah seolah tidak tahu akan hal tersebut.

Ia mempertanyakan mengapa negara dan aparat tidak tegas saat PT Timah menjalin kerja sama dengan lima perusahaan smelter. Kerja sama tersebut disebut untuk menampung timah dari hasil penambangan ilegal.

“Kepolisian, dalam hal ini, patut dicurigai tidak hanya mendapatkan keuntungan finansial, tetapi juga terlihat melindungi pelaku yang seharusnya dituntut secara hukum,” tegasnya.

Menurut Melky, tanpa membersihkan aparat penegak hukum, Indonesia tidak akan bisa memutus mata rantai korupsi di sektor pertambangan.

JATAM mengidentifikasi empat celah yang menjadi pintu masuk bagi pelaku korupsi. Pertama, pra-perizinan, seperti masalah administrasi, teknis, finansial, dan lingkungan.

Kedua, celah dalam proses perizinan, mulai dari perolehan wilayah, seperti wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK), hingga wilayah pertambangan (WP).

Selain itu, celah dalam proses perizinan juga terlihat dari lelang wilayah untuk mineral logam dan batu bara, permohonan wilayah untuk mineral non-logam, batuan, hingga izin pertambangan rakyat.

“Ketiga, pembinaan dan pengawasan, termasuk persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB); persetujuan rencana reklamasi dan pascatambang; serta pengawasan operasional tambang, seperti operasi produksi yang meliputi penambangan, pengangkutan, penjualan, pengolahan, dan pemurnian,” jelasnya.

Keempat, dalam hal penegakan hukum, Melky menyoroti bias kepentingan yang terkait dengan perlindungan dan jaminan keamanan perusahaan.

Celah Korupsi Lainnya dalam Sektor Pertambangan

Proses penyusunan dan pengesahan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) menjadi salah satu celah untuk praktik tindak pidana korupsi. Terdapat juga peraturan daerah dan faktor lain yang memberikan peluang bagi industri pertambangan untuk beroperasi di suatu wilayah tertentu.

“Selain itu, terdapat celah pada proses perizinan pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ketika wilayah operasi perusahaan tersebut termasuk dalam kawasan hutan,” demikian kata Melky.

Konsekuensi dari Kegagalan Pengawasan

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Rere Jambore Christanto, menyarankan agar pemerintah mengungkap keterlibatan para pemberi izin tambang dan pengawas pertambangan.

Rere merujuk pada data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana ada 3.772 izin tambang dari total 11 ribu izin tambang di Indonesia yang dianggap bermasalah. Bahkan, persoalan perizinan tambang tersebut diduga melibatkan kepala daerah sebagai pemberi izin.

Ia menekankan bahwa perubahan mendasar dalam regulasi mineral dan batu bara (minerba) menjadi sangat penting jika negara ingin bersih dari praktik korupsi di sektor pertambangan.

“Kehandalan hukum memerlukan substansi hukum yang kuat, struktur hukum yang memadai, dan budaya hukum yang adil. Sayangnya, UU Minerba justru merusak kehandalan hukum dengan memberikan tanggung jawab yang terlalu besar kepada pemerintah pusat,” kritik Rere.

Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, juga menyentuh tentang korupsi di sektor pertambangan yang merugikan warga Indonesia. Bahkan, ia berani mengeluarkan pernyataan berdasarkan data ilmiah.

Mahfud mengklaim bahwa jika korupsi di sektor pertambangan bisa dihapus, setiap warga Indonesia akan mendapat Rp20 juta setiap bulan secara gratis. Namun, Rere tidak menanggapi klaim Mahfud tersebut, karena tidak memiliki perhitungan lain terkait pernyataan tersebut.

Meskipun demikian, Rere menekankan bahwa UU Minerba merupakan sumber masalah utama dalam tata kelola pertambangan di Indonesia. Menurutnya, celah korupsi ini muncul karena kegagalan pengawasan dari regulasi tersebut.

“Pemusatan wewenang pertambangan kepada pemerintah pusat menyebabkan pengawasan menjadi tidak efektif. Cakupan yang terlalu luas membuat pemerintah pusat sulit untuk melakukan pengawasan di seluruh wilayah,” tandasnya.

“Tidak ada lembaga atau struktur yang jelas dari pemerintah pusat hingga daerah untuk pengawasan dan penegakan hukum terhadap industri pertambangan. Akibatnya, tanggung jawab pengawasan dan penegakan hukum bergantung pada peran yang tidak jelas antara pemerintah pusat dan daerah,” lanjut Rere.

Ia juga menyoroti modus umum dalam praktik korupsi pertambangan, yaitu pembiaran terhadap operasi ilegal. Alasan yang sering digunakan adalah subkontrak dari pemilik izin usaha pertambangan (IUP) kepada pihak tambang, yang sulit untuk diawasi karena lemahnya struktur penegakan hukum. ***