IDNtribune.com – Dengan semangat menggelora seperti ombak yang mereka taklukkan, Lantis Surfing School di Selong Belanak, Lombok Tengah, terus menunjukkan geliat yang menjanjikan. Sejak berdiri pada Januari 2024, sekolah surfing ini telah menarik perhatian para pencinta surfing dari seluruh dunia.

Lantis Surfing School dibimbing oleh empat instruktur profesional yang berpengalaman: Jaya Saputra (32), Hamzet (32), Lalu Basri Suratman (34), dan Ali Asgar (29). Mereka menawarkan pengalaman belajar surfing yang komprehensif dengan tarif yang sangat terjangkau, yakni Rp350 ribu untuk dua jam pertama. Kelas dimulai dengan teori dasar sebelum berlanjut ke praktik di ombak kecil hingga besar, memastikan setiap murid mendapatkan pengalaman belajar yang aman dan menyenangkan.

Meski masih baru, Lantis Surfing School tidak gentar bersaing dengan sekolah surfing lainnya. Sebaliknya, mereka justru semakin terpacu untuk memberikan yang terbaik. Keempat instruktur ini telah berhasil mendidik lebih dari 100 murid, mulai dari anak-anak usia 8 tahun hingga orang dewasa berusia 35 tahun. Sekolah ini juga menawarkan fleksibilitas bagi para pesertanya, baik yang datang secara individu maupun dalam kelompok keluarga. Tak heran, Lantis Surfing School telah menjadi pilihan utama bagi banyak wisatawan yang ingin menghabiskan liburan mereka dengan belajar surfing.

Dengan komitmen untuk terus berkembang dan memberikan pengalaman belajar yang tak terlupakan, Lantis Surfing School siap menjadikan Selong Belanak sebagai destinasi surfing unggulan di Lombok Tengah. “Kami berharap dapat terus berkembang dan menjadikan Lantis Surfing School sebagai rumah kedua bagi para pecinta surfing,” ujar Jaya Saputra, salah satu instruktur utama.

Semangat dan dedikasi para instruktur Lantis Surfing School menjadi bukti nyata bahwa dengan kerja keras dan komitmen, mimpi untuk menjadi pusat belajar surfing terbaik di Lombok Tengah bukanlah hal yang mustahil. Dengan layanan berkualitas dan harga yang terjangkau, Lantis Surfing School siap menyambut lebih banyak murid di masa depan.

Sejarah Surfing Indonesia

Sejarah SurfinSurfing di Indonesia telah berkembang pesat sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1930-an. Bob Koke, seorang peselancar asal Amerika, menjadi pionir yang berselancar di Pantai Kuta, Bali, pada pertengahan hingga akhir 1930-an. Keberanian dan petualangan Bob Koke membuka jalan bagi para peselancar internasional untuk datang ke Indonesia.

Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, pantai-pantai selancar di Indonesia mulai menarik perhatian dunia berkat film selancar Morning of the Earth. Sejak itu, peselancar asing mulai berdatangan ke Bali, menjadikan pulau ini sebagai pusat surfing dunia. Olahraga ini kemudian menyebar ke lokasi-lokasi lain seperti Pulau Nias, G-Land di Jawa, dan Kepulauan Mentawai.

Tahun 2003 menjadi tonggak penting dengan diluncurkannya Indonesian Surfing Championships (ISC) oleh Tipi Jabrik. Edisi pertama kejuaraan ini digelar pada tahun 2004 bekerja sama dengan Quiksilver. Pada tahun 2007, surfing diakui sebagai olahraga oleh Komite Olimpiade Internasional dalam Asian Beach Games di Bali, menegaskan posisi Indonesia di peta surfing dunia.

Kemitraan penting terbentuk pada tahun 2008 antara ISC dan Coca-Cola Amatil Indonesia. Kolaborasi ini berlangsung hampir lima tahun, menghasilkan pembentukan Asian Surfing Championships (ASC) yang berawal dari kesuksesan ISC.

Pada tahun 2013, Rip Curl Cup diadakan di Padang Padang, Bali, dengan Mega Semadhi dari Pecatu keluar sebagai juara. Pada tahun yang sama, Bali menjadi tuan rumah Oakley Pro Bali, bagian dari tur dunia, memperkuat status Bali sebagai destinasi surfing kelas dunia.

Surfing telah menjadi industri bernilai jutaan dolar di Indonesia. Pendapatan dari surfing mencakup transportasi, akomodasi, makanan, hiburan, serta layanan dan produk surfing. Banyak komunitas pantai seperti Lakey Peak di Sumbawa, Pantai Sorake di Pulau Nias, dan Pantai Uluwatu di Bali bergantung pada surfing sebagai sumber mata pencaharian utama.

Merek-merek surfing internasional seperti Billabong, Quiksilver, dan Oakley menjalankan operasi mereka dari kantor pusat di Bali, dan pemerintah daerah rutin mengadakan kontes surfing ASC untuk mempromosikan ombak dan pantai mereka. Diperkirakan, bisnis surfing menghasilkan lebih dari setengah miliar dolar di Bali saja, mewakili lebih dari 10% pendapatan dari pariwisata.

Rizal Tanjung menjadi orang Indonesia pertama yang berkompetisi di World Qualifying Series (WQS). Ia memenangkan Kejuaraan Selancar Indonesia pada tahun 2002 dan 2006, serta disebut sebagai “Peselancar Asia yang Paling Dikenal” oleh majalah Transworld Surf. Rizal juga memiliki dua merek, Kurawa dan Rizt, dan tampil dalam banyak video selancar seperti “Loose Change” dan “Stranger Than Fiction”.

Oney Anwar, peselancar asal Sumbawa, menjadi yang pertama dari pulau tersebut yang berkompetisi di WQS. Belajar berselancar di Lakey Peak dan bergabung dengan tim Rip Curl pada usia 10 tahun, Oney kemudian pindah ke Australia dalam program Rip Curl untuk peselancar muda. Kini, Oney dikenal secara internasional dan bercita-cita untuk memenuhi syarat masuk World Championship Tour (WCT).

Raditya Rondi telah mendominasi Kejuaraan Selancar Asia sejak diperkenalkan pada tahun 2011, meraih gelar juara tiga tahun berturut-turut. Prestasi Raditya mengukuhkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan besar dalam dunia surfing.

Sementara itu di Lombok, Gerupuk Inside, Gerupuk Outside, Ekas, terletak di seberang pelabuhan Awang dan Mawi, dekat Selong Belanak menjadi lokasi surfing favorit.

Surfing di Indonesia bukan hanya sekadar olahraga, tetapi juga budaya yang mengakar dan memberikan dampak ekonomi signifikan. Dengan ombak yang menantang dan keindahan alam yang memukau, Indonesia terus menjadi surga bagi para peselancar dari seluruh dunia. ***