Jenderal Tadulako, Diasuh Akademi Militer, Diasah Tradisi Intelektual
Pulau Sulawesi disamakan dengan laba-laba yang berbaring di air. Lengannya adalah semenanjung utara dan timur laut. Sedang kakinya dibentuk oleh kedua semenanjung selatan. Bentuknya pun mengingatkan pada sosok pria tanpa kepala.
Begitu Albertus Christiaan Kruyt (1869–1949), seorang misionaris, etnografer, dan teolog Calvinis Belanda dan Nicolaas Adriani (1865–1926), seorang teolog, penginjil dan linguist menggambarkan Sulawesi saat mereka datangi pada awal 1900-an. Keduanya menuliskan hal itu dalam De Bare’e-sprekende Torajas van Midden Celebes, Volume I yang terbit di Batavia pada 1912.
Dan tersebutlah Tadulakoe (mengikuti ejaan Van Ophuijsen) dalam catatan-catatan mereka. Tadulako sendiri secara umum bagi masyarakat Sulawesi Tengah diartikan secara harafiah sebagai pemimpin. Pemimpin dalam semua hal; keagamaan, pemerintahan, bala tentara dan lain-lain.
Lalu muncul tanya; “Siapa, bagaimana dan di mana Tadulako?”
Ini mengusik pikiran Mayor Jenderal TNI Farid Makruf, MA, semasa menjadi Danrem 132/Tadulako. Kepala Staf Kostrad ini membatin; “Adakah Tadulako sesosok orang, adakah dia sebatas konsepsi atau nilai-nilai, atau hal-hal lainnya.”
Bersama Tim Ekspedisi Tadulako, ia menelusuri beberapa tapak yang memungkinkannya mendapatkan jawaban soal itu. Mulai dari tapak arkeologis di Lembah Megalit Behoa hingga ke kuburan sosok para pemberani yang kepada mereka disematkan julukan Tadulako. Jawabannya mulai terkuak satu demi satu.
Didukung para akademisi dari Universitas Tadulako, Dr. Haliadi Sadi, Dr. Nisbah Mariadjang, Dr. Dwi Septiwiharti, S.S, M.Phil serta arkeolog Drs. Iksam Djorimi, M.Hum, peneliti Tanty Reinhart Thamrin dan pemerhati adat budaya di Sulawesi Tengah, catatan-catatan sejarah adat istiadat, tradisi, budaya dan sejarah Sulawesi Tengah yang terserak itu dikumpulkan.
Ada pula yang tak kecil perannya membantu perwira yang pada 2003-2004 menjadi military observer (milobs) dalam misi perdamaian dunia PBB di Sierra Leone, yakni Ki Kumbang. Pendekar Golok asal Banten bernama asli Ariyanto ini adalah salah seorang sosok yang mendorong Farid Makruf tak cuma mengulik personalisasi Tadulako, tapi juga senjata tradisional yang digunakannya yakni Guma.
Dokumen-dokumen lama dari Kruyt dan Adriani menjadi rujukan awal. Buku-buku mereka yang berbahasa Belanda semisal Van Posso naar Parigi, Sigi en Lindoe yang terbit pada 1898 diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
Dari buku keduanya; De Bare’e Sprekende Toradja’s Van Midden Celebes ditemukanlah gambaran jati diri Tadulako dan ritual-ritualnya serta seberapa penting sosoknya dalam pranata sosial di masa itu.
Hasil penelusuran perwira Kopassus yang pernah disekolahkan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto hingga ke University of Hull, Inggris ini dituangkan dalam sebuah buku. Judulnya: Tadulako, Leluhur Sulawesi Tengah: Dari Mitos ke Realitas. Sampai kemudian didukung Korem 132/Tadulako yang dipimpinnya pada 2020-2021, ia membangun Museum Guma, Museum Senjata Tradisional yang diniati untuk melestarikan senjata tradisional dan tinggalan budaya lainnya yang terkait sejarah Tadulako.
Melengkapi pengalaman batiniah dan intelektualnya, pada Mei 2022 Pangdam V/Brawijaya 2022-2023 ini, menyambangi warisan zaman purbakala yang terkait Tadulako di Lembah Besoa. Di sana ada Tadulako berupa arca megalit terletak 1.233 meter di atas permukaan laut. Tadulako memakai tali bonto, ikat kepala khas setempat. Arca Tadulako yang terbuat dari batu granit disebutkan berjenis kelamin laki-laki dengan alat kelamin menonjol yang dipegang oleh kedua tangannya. Bidang dadanya juga menonjol, dengan roman muka yang tenang. Ada pula yang menyebutnya berwajah datar cenderung masam.
“Dari penelusuran kami, Tadulako adalah sesuatu yang luar biasa. Ia tak sekadar sosok, tapi nilai, moral, etik dan filosofi yang sangat istimewa. Ini tidak akan kita temukan di daerah lain di Indonesia. Kita semua berharap ini tetap lestari,” kata mantan juru bicara Kopassus itu yang terasa ahli berbicara tentang adat dan budaya.
Galibnya orang Indonesia, hal-hal batiniah tetap menjadi perhatiannya. Ia mengaku memasuki alam transedental saat berada di Situs Megalit Tadulako pada gulita malam Mei 2022 itu. Saat itu, ia memandangi sosok Tadulako dengan hikmat. Tetiba tergambar di depannya lembah luas tadi menjadi terang benderang, kemudian dipenuhi orang ramai yang menghuni pemukiman. Lalu musuh datang menyerang. Di saat genting itu, muncullah sesosok pahlawan perang yang gagah berani memimpin perlawanan. Sampai kemudian ia dan seluruh pemukim bahu membahu berjuang sampai musuh terusir. Hampir saja dirinya turun terlibat mengikuti nalurinya sebagai komandan satuan, untung saja ia mampu mengontrol diri.
Kisah ini diceritakannya di paruh kedua Februari 2024 lalu, saat menyambangi Watu Molindo, salah satu tinggalan Era Megalitikum di Lembah Bada, Poso. Ia pun menyempatkan diri bercengkrama secara batiniah dengan Watu Molindo, yang belakangan lebih dikenal sebagai Patung Palindo. Di depan arca era megalitikum berusia lebih dari 2000 tahun setinggi 4 meteran itu, konon dirinya sempat memasuki alam transendental sebelum kembali ke kesadaran nyata.
Farid Makruf memang seorang scholar warrior. Seorang perwira intelektual. Ia paham pula literasi. Ia adalah perwira pembelajar. Secara harafiah scholar warrior diartikan sebagai sarjana yang perwira, perwira yang sarjana. Bolehlah juga disebut cendekiawan perwira atau perwira cendekiawan, Ia belajar untuk tampil lebih baik di bidang militer maupun non-militer. Mereka adalah perwira militer yang dilatih secara formal dalam disiplin akademis selain spesialisasi fungsional tempur. Farid secara pribadi diasuh Akademi Militer lalu diperkaya dengan pengalamannya memimpin satuan dan penugasannya baik di dalam maupun luar negeri, lalu diasah tradisi Intelektualnya dari perjalanan sekolah dan penugasan non-tempur yang diembannya.
Jadi, saat ia memutuskan untuk kembali menambah deret gelar kesarjanaannya, orang-orang di sekitarnya mahfum. Perwira yang pernah terlibat dalam Operasi Seroja Timtim, Operasi Tinombala dan Operasi Madago Raya di Poso ini memilih kuliah di Pasca Sarjana Universitas Tadulako, Palu. Sebentar lagi gelar Doktor akan menambah panjang nama perwira tinggi TNI Angkatan Darat kelahiran Bangkalan, Madura ini.
Yang istimewa, abituren Akmil 1991 ini akan menjadi Jenderal TNI dan Doktor pertama dari Universitas Tadulako yang berkosentrasi pada penelitian tentang Tadulako. Bisa dibilang, ini adalah riset paripurna tentang Tadulako dari semua sisi. Layaklah kepadanya disematkan julukan; Jenderal Tadulako. ***
Leave a Reply