Magetan Art Venue (MAV) pertama diadakan pada tanggal 25 November sampai 3 Desember tahun 2022 yang seluruh pesertanya adalah perupa dari Magetan. Sebagian besar karya-karya yang dipamerkan tahun lalu telah dikoleksi dan dipajang dikantor kabupaten Magetan. Sejumlah 24 lukisan yang lolos kurasi pameran sekarang menjadi koleksi kantor bupati yang waktu itu dijabat oleh Dr. Drs. Suprawoto SH, M.Si. Sebuah inisiasi pengkoleksian karya seni dilakukan oleh pemerintah daerah selain sebagai salah satu perhatian pemerintah terhadap para seniman juga sebagai pembelajaran investasi atas benda seni.

Magetan memang tergolong masih baru dilihat dari aktivitas seni rupa dalam peta seni rupa Indonesia, namun semangat dan kreativitas kelompok Magetiart ini memang cukup baik dan progresif. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa pameran penting yang telah mereka lakukan pada beberapa tahun ini. Salah satunya pameran bersama di Pendhapa Art Space Yogyakarta bulan Juni 2023 dan pameran internasional di kota Ho Chi Minh Vietnam pada bulan Agustus 2023. Setidaknya dengan pameran internasional tersebut akan membawa Magetiart lebih maju dalam banyak hal yang bersangkutan dengan profesionalitas seorang perupa baik secara individu maupun organisasi.

Pada pameran seni rupa Magetan Art Venue 2 saat ini menampilkan karya dari 12 perupa yang tidak hanya dari Magetan tapi juga dari Madiun dan Ngawi. Pameran MAV 2 saat ini menampilkan beberapa karya lukisan dan seni instalasi. Para perupa yang terlibat dalam pameran ini diantaranya: ABD Mukti, Agung WHS, Agus Wicak, Basuki Ratna, Dadang Widjanarko, Hendra Prast, Hendri, Mahendra Dhafis, Susetya, Wahyu Galino, Yoga Arie Kusuma, Zulfian Hariyadi. Para perupa tersebut memiliki gaya dan konsep karya yang berbeda satu dengan lainnya. Dari gaya abstrak, dekoratif, surealis, pop surealis hingga kontemporer. Gaya abstrak diusung oleh pelukis Susetya dan Dadang Widjanarko dimana karya mereka memang terbebas dari ilusi bentuk-bentuk di alam. Susetya melukis dengan mempertimbangkan komposisi dan bidang-bidang secara geometris, sedangkan Dadang lebih mengekspresikan alam bawah sadar secara impulsif. Hal ini bisa disimak dalam lukisan Susetya yang berjudul “Beauty in diversity” 125X170cm, akrilik di kanvas,2023. Lukisan tersebut menggambarkan beberapa bidang-bidang dengan bentuk yang berbeda dan warnanyapun juga beragam.

Bidang-bidang tersebut dikomposisikan secara acak namun dinamis. Sebuah keindahan dalam keberagaman yang secara semiotika sepertinya judul tersebut menggambarkan tentang keindahan bumi pertiwi dengan beragam suku dan budaya. Berbeda dengan karya abstrak yang dilukis oleh Dadang dimana dia melukis secara spontan dan lebih banyak bekerja secara improvisasi. Salah satu lukisan Dadang berjudul “Improve” 120X240cm, akrilik dikanvas, 2023. Lukisan tersebut berkomposisi dua panel dengan warna kecoklatan dan banyak unsur brushstroke yang menampilkan image samar. Tumpang tindih antara sapuan warna dan garis memunculkan ilusi abstrak yang artistik dan misteri. Hal ini juga seperti yang dilakukan Mukti dalam karyanya yang berjudul “Khalifah” 140X200cm, akrilik dikanvas,2023. Lukisan abstrak yang berelemen kaligrafi disusun secara acak dan padat namun unik dan menarik. Rasanya lukisan Mukti adalah terobosan baru dari lukisan-lukisan kaligrafi yang sering ada dalam pameran di Indonesia. Karya Mukti bisa disebut sebagai lukisan kontemporer yang bersifat kekinian dan inovatif. Karya semi abstrak juga dipamerkan oleh Basuki Ratna dalam event ini dimana antara figur dan abstraksi terekspresikan dalam satu karya. Lukisan Basuki bisa dikatakan abstrak figuratif sebab ada banyak figure yang tergarap dalam lukisannya seperi dalam karyanya yang berjudul “The big family” 150X200cm, akrilik dikanvas,2023.Beberapa gaya lukisan yang lain adalah pop surealis yang disuguhkan oleh Hendra Prast dengan tema yang bisa mewakili jaman sekarang. Dunia digital dan semi robotik terekspresikan dalam karya-karyanya saat ini. Salah satunya berjudul “Birth of the Knight” 140X210cm, akrilik dikanvas,2023. Konsep metavolusi yang diusung menjadi spirit karyanya merupakan wujud dari pemikiran kekiniannya. Dalam karya tersebut menggambarkan tentang bagaimana seekor gajah berproses dengan jalan metamorfosa berubah bentuk menjadi robot secara imajiner. Selain itu dia juga menghadirkan sebuah karya instalasi bersama Agung WHS dalam event MAV 2 ini. Agung WHS menggunakan bahan material tradisional seperti lesung dan material lainnya. Karyanya berjudul “In memoriam” 400X300X100cm lesung kayu, bambu, logam, kayu, gabah,2023. Karya Agung ini menggambarkan tentang tergesernya budaya dan elemen tradisi yang sedikit demi sedikit tergerus dengan semakin majunya modernisasi.

Dalam pameran ini beberapa perupa menampilkan karya dengan berbeda gaya antara satu dengan lainnya seperti Agus Wicak dan Zulfian Hariyadi yang lebih konsen pada gaya dekoratif. Gaya dekoratif sudah cukup lama dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam karya-karya klasik maupun tradisional, namun para seniman sekarang juga masih banyak tertarik menggunakan gaya tersebut. Kita lihat lukisan Agus Wicak yang berjudul “Freedom” 200X130cm, akrilik dikanvas,2023. Sebuah lukisan yang cukup kental nuansa dekoratifnya namun digarap dengan gradasi warna secara estetis. Agus sudah lama menggarap tema flora dan fauna dengan segala fenomenanya. Sedikit berbeda dengan karya Zulfian Hariyadi lukisan dekoratifnya dipadu dengan perspektif dan goresan yang impresif seperti dalam karyanya yang berjudul “Rindukan hujan” 100X300cm, akrilik dikanvas,2023. Sepertinya lukisan ini terinspirasi dari panjangnya musim kemarau tahun ini yang membuat pohon-pohon mengering dan menguning.Wahyu Galino seorang perupa yang karyanya membangun ilusi lewat teknik realis dan imajinasi yang diekspresikan dalam lukisan yang berjudul “Back to nature” 200X150cm, akrilik dikanvas,2023. Lukisan tersebut menggambarkan tentang susunan komposisi artefak dan fosil yang menyatu dengan alam. Warna-warna tanah kecoklatan dan bebatuan menjadi harmoni dalam lukisan tersebut. Yoga Ari Kusuma salah satu pelukis yang sering mengekspresikan pikiran-pikiran imajinernya dalam berkarya seperti dalam lukisannya yang berjudul “Penariku” 150X200cm, akrilik dikanvas,2023. Bentuk imajinasi digarap sesukanya dengan komposisi dan gestur yang acak dan liar. Sepertinya ada hal yang mengendap dalam bathinnya yang ingin diekspresikannya dalam lukisan, hal ini mengingatkan saya pada kelompok Art Brut diawal abad 19 yang dimotori oleh Jean Dubuffet.

Art Brut adalah kelompok perupa yang sebagian besar adalah penyandang disabilitas. Art Brut berasal dari Bahasa Perancis yang berarti rough art (seni kasar) atau raw art (seni mentah). Salah satu pelukis yang mengusung tema absurditas dengan gaya surealistik adalah Hendri dengan lukisannya yang berjudul “Mencari Makna” 200X140cm, akrilik dikanvas,2023. Surealisme lahir di Perancis pada tahun 1924 dan berkembang hingga pertengahan abad 19. Eksistensi surealisme dideklarasikan dalam sebuah manifesto oleh Andre Breton yang lahir di Perancis tahun 1896 seorang penyair dan penulis yang mengidentikkan surealisme sebagai “otomatisme psikis murni”.

Banyak tokoh surealisme barat yang terkenal diantaranya Salvador Dali, Rene Magritte, Max Ernst, Desmond Morris dan lainnya. Pikiran surealis juga terekspresikan dalam lukisan Mahendra Dhafis dengan karyanya yang berjudul “Fearless” 150X200cm, akrilik dikanvas,2023. Serpihan-serpihan benda imajiner bertaburan tumpang tindih dan terbang yang membawa kita kedalam alam khayali.Magetan Art Venue tahun ini adalah progress dari pameran MAV sebelumnya, dimana setiap tahun para perupa Magetan dan sekitarnya terus meningkatkan kwalitas karyanya dalam kontestasi seni rupa Indonesia. Selamat berpameran dan terus berkarya.

Heri Kris, kurator dan perupa alumni ISI Yogyakarta