Suatu pagi pada 17 Juli 1946 di Lapangan Pingit, Yogyakarta. Seorang lelaki berperawakan tinggi besar terlihat berdiri di tengah lapangan. Wajahnya sumringah memandang ratusan pemuda belia berseragam ala militer di depannya. Wajah tampannyayang klimis itu mirip orang eropa.  

Lelaki muda berseragam militer dengan pangkat Mayor itu adalah dr. Moestopo. Ia adalah dokter gigi tentara. Ia dari Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat. Hari itu, ratusan pemuda belia yang dikumpulkannya adalah para anggota Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Mereka adalah anggota IPI Bagian Pertahanan yang kemudian berubah nama menjadi Markas Pertahanan Pelajar (MPP). 

Di pagi yang mulai terik, para pelajar yang selama ini ikut mengangkat senjata melawan penjajah Belanda itu akan digalang membentuk Tentara Pelajar. Ini dilakukan agar pergerakan mereka terkoordinasi dan terarah. Tidak lagi berjuang sendiri-sendiri.  

Sejak itu, Tentara Pelajar menjadi bagian penting dari gerakan perlawanan melawan penjajahan di Indonesia. Saat menghadapi Agresi Militer Belanda II, oleh Presiden Soekarno, kesatuan pelajar pejuang bersenjata dimasukkan dalam kesatuan otonom dalam jajaran TNI yakni Brigade 17 TNI.

Saat dibubarkan pada 1951, ada di antara mereka yang kemudian meneruskan karir militernya hingga mencapai pangkat Jenderal. Sebut saja di antaranya Mayor Jenderal TNI Mas Isman. Ayah mantan Menteri Olahraga Hayono Isman ini, adalah salah seorang mantan Komando Resimen Tentara Pelajar yang dilantik Mayor dr. Moestopo.

Adapun Moestopo, pensiun dalam tugas kekaryaan dengan pangkat Mayor Jenderal TNI. Dokter gigi TNI Angkatan Darat ini dikenal pula sebagai tokoh pendidik yang mendirikan Universitas Moestopo (Beragama). Ia ikut andil dalam mendirikan Jurusan Kedokteran Gigi di beberapa universitas di Indonesia.

Dan Menwa pun Lahir dan Bertumbuh

Roda sejarah terus berderak. Enam tahun setelah pembubaran Tentara Pelajar, Indonesia yang masih muda didera pemberontakan-pemberontakan kelompok bersenjata. Latar belakangnya tentu saja politik dan kekuasaan. Pemerintah pun telah menetapkan status darurat perang sejak 1957. 

Saat itulah dirasa perlu memanggil kembali para kaum terpelajar bergabung dalam militer. Pelatihan kemiliteran dipandang perlu untuk diterapkan pada mulanya bagi mahasiswa di wilayah Jawa Barat. Mereka dilatih oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi dalam rangka persiapan menghadapi gangguan keamanan dari gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). 

Program pelatihan yang dinamai Wajib Latih (Wala) itu diinisiasi oleh Panglima Siliwangi Kolonel Raden Ahmad Kosasih. Pengumuman rekrutmen Wala mulai diedarkan pada Mei 1959. Lalu, proses seleksinya dimulai pada 13 Juni. Para mahasiswa yang lolos lantas mengikuti pelatihan yang dipusatkan di Lapangan Diponegoro, Bandung. 

“Dalam pelaksanaannya latihan dilakukan enam kali dalam satu minggu, dan setiap harinya jumlah peserta yang mengikuti latihan jumlahnya 960 orang. Latihan dilakukan secara bergiliran. Latihan diberikan setiap hari selama empat jam per hari. Dan pelaksanaan Wajib Latih ini diberlangsungkan selama 20 minggu,” tulis Raditya Christian Kusumabrata dalam Resimen Mahasiswa sebagai Komponen Cadangan Pertahanan 1963-2000.

Pelatihan kemiliteran itu berlangsung dari 13 Juni – 14 September 1959. Tujuannya, mahasiswa yang memperoleh latihan ini siap mempertahankan NKRI bersama TNI guna mencegah semua ancaman dan siap melakukan pertempuran dengan menggunakan senjata. Mahasiswa-mahasiswa ini dilatih di Kodam VI/ Siliwangi. Mereka diberi hak mengenakan lambang Siliwangi.

Mereka dipersiapkan sebagai perwira cadangan untuk mendukung TNI bila terjadi keadaan genting pada NKRI.

Hasil didikan Kosasih dan jajarannya itu rupanya mendapat apresiasi positif dari Kepala Staf Angkatan Darat kala itu, Mayor Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, bahkan juga Presiden Sukarno.

Program pelatihan militer mahasiswa ini menemukan momentum kala Indonesia mulai menggencarkan kampanye pembebasan Irian Barat. Pada Desember 1961, Presiden Sukarno mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Langkah itu kemudian disambut Mayjen TNI Nasution dengan Surat Keputusan No. MI/B/00307/1961. Surat itu pada intinya memerintahkan perluasan latihan ketangkasan keprajuritan di kalangan mahasiswa melalui program Wala.

Kali ini, seluruh Kodam wajib bekerja sama dengan perguruan tinggi. Kodam akan bertindak sebagai pelatih dan perguruan tinggi sebagai penyelenggaranya. Program pelatihan militer ini kemudian jadi kewajiban di beberapa perguruan tinggi, di antaranya Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, dan Akademi Pos, Telegraf, dan Telepon.

Pada 24 Januari 1963, Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan dan Menteri Perguruan Tinggi menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. M/A/20/63. SKB itu jadi dasar untuk memasukkan latihan pertahanan ke dalam kurikulum perguruan tinggi. Selain itu, SKB juga menginstruksikan pembentukan Resimen Mahasiswa di setiap universitas.

“Secara organisasi dan administratif Resimen Mahasiswa berada di bawah Kepala Perguruan Tinggi atau Rektor, namun untuk pelatihan Resimen Mahasiswa dilatih oleh anggota Angkatan Bersenjata,” tulis Raditya lagi.

Para mahasiswa terlatih ini terlibat dalam sejumlah operasi militer, mulai dari melawan pengaruh DI/TII, Operasi Dwikora Ganyang Malaysia, Operasi Trikora di Irian Barat, Pemberantasan Partai Komunis Indonesia hingga Operasi Seroja di Timor Timur.

Olehnya, tak sedikit di antara anggota ‘tentara mahasiswa’ ini menerima Bintang Mahaputera. Ini adalah tanda kehormatan tertinggi kedua yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia, setingkat di bawah Bintang Republik Indonesia. Anugerah kehormatan ini diterbitkan secara resmi pada 1959.

Bintang ini diberikan kepada mereka yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adapula di antara mereka memilih terus berkarir di militer hingga menjadi Jenderal di TNI.

Bagaimana Nasib Menwa di Masa Kini?

Banyak perdebatan klasik tentang masyarakat madani dan militerisme. Mereka yang melihat Menwa sebagai bagian dari militerisme yang diwariskan oleh Orde Lama dan Orde Baru memandang ‘tentara mahasiswa’ ini tak lagi diperlukan. Sementara bagi para anggota Menwa dan Alumni, menetapkan sikap bahwa para mahasiswa terlatih ini harus tetap ada dan bertumbuh.  

Tuntutan pembubaran Menwa menguat pasca lengser keprabonnya Sang Jenderal Murah Senyum, Soeharto pada 1998. Pada 2000 terbit Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. KB/14/M/X/2000, 6/U/KB/2000, dan 39A tertanggal 11 Oktober 2000.

Sesuai SKB baru itu, Menwa dilepas dari asuhan Kodam dan statusnya diturunkan jadi UKM biasa. Pembinaan Menwa pun kini diserahkan kepada pimpinan perguruan tinggi. Pembinaannya kemudian terkesan tak terarah dan asal-asalan. Sebagian masih tetap dilatih oleh ‘bapak asuhnya’ TNI, sebagian mulai menjalankan program latihan sendiri-sendiri.

Para anggota Menwa pun terlihat tak lagi percaya diri seperti dahulu. Tak lagi terlalu tegap bila berjalan. Tak lagi terlalu disiplin dalam bersikap. Tugasnya di Kampus masing-masing tak lebih sebagai ‘satuan pengamanan’ untuk acara-acara tertentu. Apalagi para alumninya pun terpecah kedalam sejumlah organisasi.

Menata Masa Depan Menwa

“Peran Menwa sejak pergolakan bersenjata hingga di masa damai sebagai rescuer, penyelamat dalam bencana-bencana di Tanah Air adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja. Sungguh sayang, bila institusi ini menjadi seperti kerakap yang tumbuh di atas batu, hidup enggan mati tak mau,” ungkap sejumlah alumni.

Sejak terbitnya SKB Tiga Menteri pada 2000, Ia mulai melihat kemunduran sporadis organisasi para ‘tentara mahasiswa’ ini. Padahal peran mereka dalam kaitannya dengan dukungan Bela Negara tak bisa dipungkiri.

Masih banyak anggora Menwa yang dapat bercerita dengan bangga bagaimana Menwa terlibat dalam menumpas gerakan separatis DI/TII di Jawa Barat, Operasi Pembebasan Irian Barat, Operasi Dwikora di Kalimantan hingga Operasi Seroja di Timor Timur.

Dalam Operasi Dwikora, sejumlah anggota Resimen Mahawarman ikut dalam Operasi Ganyang Malaysia itu. Yang tercatat di antaranya adalah dokter Asep Ema – yang kelak bergabung dengan Kopassus. Ada pula dokter Norman Tagor Lubis, yang kemudian menjadi perwira TNI Angkatan Udara.

Mengingat ancaman terhadap pertahanan Negara tersebut bisa datang sewaktu waktu, bahkan dari gerakan separatis dalam negeri. Maka tentu saja dengan alas pikir untuk memanfaatkan para ‘mahasiswa terlatih’ secara militer itu sudah jelas jalan keluarnya.

Kualifikasi Menwa patut dipertimbangkan, karena Pendidikan Dasar dan Latihan Kemiliteran mereka sudah setara infanteri gaya baru atau Raiders. Pendidikan keterampilan lanjutan pun sudah mereka miliki. Mereka dilatih menjadi sniper, scuba diver, paratrooper, dan Pararescue. Itu tentu saja menjadi modal yang lebih dari cukup untuk mendukung pertahanan dan keamanan negara.

Berbeda dengan wajib militer, yang mungkin bisa saja ‘terpaksa’ diikuti, maka Menwa ini beralaskan tekad dan semangat bela negara. Mereka secara sukarela bergabung dengan Menwa, sehingga jelas loyalitasnya kepada Negara.

Mayor Jenderal TNI Farid Makruf, MA. Semasa menjadi Komandan Korem 132 Tadulako di Palu, dalam satu kesempatan menyatakan peran Menwa sangat penting bagi moralitas bangsa.

Menurut mantan Kepala Penerangan Kopassus ini, Menwa diajarkan kedisplinan, ilmu militer dan pengetahuan yang tidak sama dengan orang lain. Sehingga, perannya dalam Bela Negara dan pengembangan nilai-nilai kebangsaan sangat diperlukan.

Ia menekankan kehadiran Menwa ditengah-tengah masyarakat bisa menjadi agen perubahan. Dengan menanamkan dan menebarkan rasa cinta Tanah Air sertamenjaga kedaulatan Negara.

“Bela Negara bisa diwujudkan dengan memiliki rasa cinta Tanah Air, rela berkorban untuk Negara dan Bangsa, menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara, dan semangat menjaga kedualatan Negara,” kata dia.

Farid juga memaparkan pengalamannya semasa menjadi Komandan Korem 162/Wira Bhakti, Nusa Tenggara Barat dan Korem 132/Tadulako, Palu.

“Selama saya menjabat Danrem di Palu maupun di Nusa Tenggara Barat, saya melihat sendiri bahwa Menwa adalah organisasi mahasiswa yang paling sigap dalam membantu penanganan pasca gempa dan tsunami. Maka hendaknya organisasi Menwa harus tetap ada di setiap perguruan tinggi sebagai pasukan elit penggerak pasukan bela negara di kampus masing-masing,” paparnya.

Soal desakan pembubaran Menwa, ia menegaskan sikapnya. Ia bilang, dirinya akan menjadi orang pertama yang menentangnya.

“Mereka yang meminta Menwa dibubarkan itu ahistoris, tak paham derak roda sejarah Menwa dan perjuangan Bangsa ini untuk lepas dari Penjajahan serta gerakan-gerakan separatis. Mereka juga tak melihat bagaimana peran Menwa di masa kini,” tandasnya.

Benteng Melawan Radikalisme

Di lain kesempatan, seperti yang telah diterapkan oleh Korem 132 Tadulako semasa kepemimpinannya, Ia mengatakan mahasiswa, kaum terpelajar bisa menjadi benteng melawan tumbuh pesatnya radikalisme di kampus-kampus kita. Apalagi di Kampus di wilayah Indonesia di mana terorisme menjadi momok, seperti di Bima, NTB dan di Poso dan Palu, Sulawesi Tengah atau beberapa daerah lainnya di Indonesia, kehadiran Menwa benar-benar adalah keniscayaan.

Farid yang sudah menulis sejumlah buku sejak berpangkat Letnan Kolonel itu, memaparkan bahwa Menwa dapat membantu terselenggaranya pembinaan kesadaran bela negara, berkontribusi aktif untuk kelancaran berbagai kegiatan atau program di kampus, membina aspek kesadaran bela negara pada para mahasiswa baru, dan menjalankan deradikalisasi di kampus.

“Menwa pun dapat dibina untuk menjadi satuan tanggap bencana kampus yang sewaktu-waktu siap diterjunkan ke berbagai lokasi yang terkena bencana,” jelasnya.

Perwira Komando yang lulus dari University of Hull, Inggris pada 1998 itu, menyebut etos patriotisme yang terpahat pada anggota Menwa yang telah melalui pendidikan dan latihan militer menjadikan mereka sebagai elemen Komponen Cadangan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta yang siappakai bila sewaktu-waktu negara membutuhkan dukungan tambahan dalam berperang.

Semangat para alumni Menwa, dan Farid Makruf yang seorang Jenderal Bintang Dua TNI, tentu tak salah tempat dan waktu. Di tengah majunya zaman di mana perang tak lagi melulu dengan berhadapannya kekuatan perang, Menwa tentu tak bisa diabaikan begitu saja.

Perang Proxy atau Proxy War, misalnya, itu membutuhkan dukungan dan bantuan kaum terpelajar yang terlatih secara mental dan keilmuan. Proxy war sendiri adalah sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan untuk mengurangi risiko konflik langsung yang berakibat pada kehancuran fatal.

Menwa sebagai kaum terpelajar yang dibekali ilmu pengetahuan umum dan khusus, serta pendidikan dan pelatihan militer, tentu saja akan menjadi elemen penting yang memainkan perang dalam mengatasi proxy war.

Seperti harapan Berni dan alumni Menwa lainnya, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan harus kembali memerhatikan keberadaan Menwa.

Jangan biarkan anak-anak muda bangsa yang patriotis itu bak kerakap yang tumbuh di batu; Hidup enggan, mati tak mau.  ***