Menghargai Nyawa Menwa, Agar Tak Mati ‘Dua Kali’
Army CID is offering a rewardof $25,000 for credible information leading to the arrest and conviction of the person(s) responsible for themurder of Cadet Joseph Banales. Divisi Investigasi KriminalAngkatan Darat AS (Army CID) menawarkan hadiah sebesar $25.000 untuk informasi kredibel yang mengarah pada penangkapan dan penghukuman orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Kadet Joseph Banales. Demikian bunyi pengumuman di laman twitter resmi Army Criminal Investigation Division pada 13 Mei 2023 lalu.
Kadet ROTC Wafat, Militer Bertanggung Jawab
Kadet Joseph Banales, mahasiswa 22 tahun yang anggota ROTC (Reserve Officer Training Corps, Korps Pelatihan Perwira Cadangan) Angkatan Darat AS, jatuh tersungkur dengan kepala tertembak, pasca menonton pertandingan bola. Banales kehilangan nyawanya pada 15 April 2023, namun pelakunya masih belum diketahui. Maka, Divisi Investigasi Kriminal Angkatan Darat (Army Criminal Investigation Division, Army CID) segera menyelidiki kematian Banales.
Sebulan kemudian, untuk mencari pelakunya, maka Army CID menawarkan hadiah $25.000 kepada siapa saja yang memiliki informasi mengenai si penembak Banales. Kadet Joseph Banales adalah mahasiswa senior ROTC (Menwa-nya Amerika) dari University of the Incarnate Word di San Antonio, Texas. (armytimes.com, 13/5/2023)
Di Alaska, Jessica Swan masih sangat terpukul atas kematian anak gadisnya, Mackenzy Wilson (19) akibat kecelakaan di Lapangan Pengeboman Saylor Creek di Idaho pada 24 Juni 2022, tempat latihan Angkatan Udara. Kadet Wilson adalah mahasiswi anggota ROTC dan akan segera mendaftar masuk tentara. Naas, di area berkerikil, Humvee yang dikendarai rekannya itu tergelincir dan terbalik. Wilson terjepit di bawahnya. Pada pemakamannya, Col. Ernesto Di Vittorio, Komandan 366th Fighter Wing Angkatan Udara AS, menyampaikan kedukaan mendalam. (Alaskapublic.org,17/2/2023).
Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Bagian Idaho (Idaho State Police ) dengan bantuan dari Kantor Investigasi Khusus Angkatan Udara. (Air Force Office of Special Investigations) menyatakan bahwa kecelakaan tersebut bukan dalam rangka latihan ROTC. Meski terjadi di area latihan, namun penggunaan kendaraan taktis tempur Humveeyang cukup uzur dan tak layak pakai, tak ada dalam skema pelatihan. Hal ini memberikan gambaran bahwa terbuka kemungkinan bahwa jiwa remaja dan sikap ingin tahu, mendorong anak muda untuk mencoba “tantangan” baru, meski dilarang. Pejabat Angkatan Udara dengan pusat yang mengawasi program ROTC, tidak menanggapi permintaan komentar tentang dampak kasus ini terhadap programnya.
Tiga tahun sebelumnya di Filipina, Kadet Willy Amihoy, seorang siswa Iloilo State College of Fisheries (ISCOF) Dumangas Campus meninggal dunia. Amihoy merupakan anggota ROTC Filipina, meninggal akibat pukulan besi berkali-kali di kepalanya, oleh seniornya. Pelaku tersebut adalah Elmer Decilao (22), komandan program ROTC di kampus yang sama. Decilao pun ditangkap dan diadilli, atas laporan pemukulan hingga korbannya tewas.
Dari penyelidikan yang dilakukan Angkatan Bersenjata Filipina, didapat hasil bahwa pemukulan di Kampus Dumangas itu bukan dalam rangka pelatihan ROTC, melainkan karena dendam pribadi. Juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina Brigjen. Jenderal Edgard Arevalo mengatakan bahwa Decilao sang pelaku yang menghadapi dakwaan pembunuhan, mengaku membunuh korban karena dendam lama. Bukan dalam rangka pelatihan ROTC.
Beda Negara Beda Penanganan bagi Komponen Pertahanan
Medio Mei tahun ini di Indonesia, seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Valencia Matalino Arya Putra, meninggal dunia saat mengikuti pelatihan pembaretan Resimen Mahasiswa (Menwa) di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Kamis (11/5/2023). Pihak kampus UNJ yang memberikan keterangan pers kepada wartawan, menyampaikan bahwa Valencia meninggal karena serangan panas (heat stroke) saat mengikuti kegiatan tersebut. Heat stroke merupakan gangguan pada sistem saraf disertai dengan meningkatnya suhu tubuh mencapai 40 derajat Celsius.
Namun kematian Valencia sebagai anggota Menwa yang tengah melakukan Pendidikan Dasar (Diksar) Menwa, bukan kali pertama. Sejumlah kasus kematian anggota Menwa, saban tahun terjadi di Indonesia. Pada 2015, Piky Puspitasari mahasiswi UGM Yogyakarta, meninggal “akibat kelelahan” saat melaksanakan Diksar. Muhammad Akbar (19), mahasiswa jurusan Fakultas Hukum Universitas Taman Siswa (Unitas) Palembang, meninggal setelah mendapat siiksaan senior Menwa dari kampus yang berbeda, saat Diksar tahun 2019. Penyiksaan itu antara lain berupa tendangan di kemaluan.
Pun Bagaskara, anggota Menwa dari Universitas Jayabaya Jakarta, wafat saat Diksar tahun 2019. Menurut keterangan pihak kampus, Bagaskara wafat karena penyakit hermia yang dideritanya. Di Surakarta ada dua Menwa yang menjadi korban meninggal saat Diksar. Pertama, mahasiswi NailahKhalishah, anggota Menwa di UMS Surakarta yang meninggal pada April 2021, dan Gilang Endi Saputra anggota Menwa UNS yang wafat pada Oktober 2021. Jika Nailah Khalishahmeninggal saat long march, maka wafatnya Gilangdisebabkan penganiayaan oleh seniornya.
Dari kasus-kasus kematian anggota Menwa di Indonesia, nampak jelas bahwa pihak kampuslah yang menjadi satu-satunya pihak yang harus memikul tanggung jawab. Hal ini jelas berbeda dengan penanganan anggota ROTC di luar negeri, dalam hal ini di Amerika dan Philipina seperti contoh kasus di atas. Di hampir semua negara di dunia, student military ataupun ROTC dan organisasi setara Menwa, pihak yang paling bertanggung jawab adalah lembaga militernya. Sebab, di semua negara tersebut, studentmilitary atau Menwa-nya merupakan wewenang dan tanggung jawab pihak militer. Bukan pihak kampus, apalagi ormas ataupun LSM. Soal pertahanan negara, hanya pihak militer yang punya wewenang.
Jika di Amerika Serikat ada ROTC, Inggris juga punya UOTC (University Officers Training Corps) yakni unit pelatihan kepemimpinan militer di kampus-kampus, yang dioperasikan oleh Angkatan Darat Inggris. Fokus mereka adalah untuk mengembangkan kemampuan kepemimpinan anggotanya, sambil memberi mereka kesempatan untuk mengambil bagian dalam kehidupan militer selama di universitas. UOTC juga mengatur kegiatan luar ruangan non-militer seperti berjalan di bukit dan mendaki gunung. Kini di Inggris ada lima belas UOTC dan dua Resimen Pelatihan Perwira (OTR) di seluruh Britania Raya, yang masing-masing melayani universitas dan unit Cadangan Angkatan Darat di wilayah geografis yang berbeda. UOTC dipimpin oleh perwira dan bintara dari Tentara Reguler dan Cadangan Angkatan Darat.
Demikian pula dengan Reserve Officer Training Unit (ROTU) di Malaysia, yang merupakan Unit Pelatihan Perwira Cadangan yang dalam bahasa Melayu disebut PAALAPES (Pasukan Latihan Pegawai Simpanan) adalah program militer yang melatih mahasiswa sarjana untuk menjadi perwira cadangan Angkatan Bersenjata Malaysia. ROTU merupakanprogram kerjasama antara Kementerian Pertahanan Malaysia dengan Kementerian Pendidikan Tinggi untuk mahasiswa-mahasiswi di Institutsi Pengajian Tinggi Awam (IPTA).
Sebaliknya dengan Menwa di Indonesia, yang sejak era reformasi, terputus garis komando langsungnya dari TNI. Maka, ketikakasus kematian anggota Menwa terjadidan memunculkan aksi demo menuntut pembubaran UKM Menwa di kampus, hanya pihak kampus yang paling menjadi sasaran. Di Solo misalnya,Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menanggapi tuntutan pembubaran Menwa, “Nanti jangan sampai terulang lagi kejadian (tindakan) kekerasan serupa, apalagi sampai ada yang meninggal. Bikin malu saja.” (cnnindonesia.com, 26 Okt 2021).
Walikota Solo benar, bahwa kejadian tersebut tak saja memprihatinkan, tapi juga memalukan. Baik pihak kampus maupun Pemda, merasakan keprihatinan itu. Tpibgaimana dengan pihak-pihak yang selama ini mengklaim sebagai “Induk” Menwa? Tak terdengar tanggapan dari pihak Skomen yang merupakan perwakilan Konas. Apalagi “induk-induk” lain seperti KMI maupun Komenwa, tak bersuara karena merasa bahwa yang menjadi korban adalah “Menwa-nya Konas”.
Wajar bila masayarakat bertanya: apa saja materi Diksar sehingga terjadi tragedi seperti contoh-contoh di atas? Siapa yang berhak melatih Menwa di kampus? Mengapa Konas maupun “induk-induk” lainnya seolah tak terjamah hukum, padahal pihak kampus kerap “meminta ijin” pada Skomen yang bersangkutan?
Diksar Menwa, Pelatih dan Dasar Hukumnya
Bagaimana kita memandang diri kita sebagai Bangsa Indonesia? Apakah sebagai bangsa lemah yang “terhimpit antara dua raksasa”: Amerika dan China? Atau sebagai negara besar dengan nyali kecil dan “dungu”? Atau sebagai negara kaya yang hanya bisa mnjual kekayaan alamnya? Untuk menjawab hal itu, maka kita harus memiliki Wawasan Kebangsaan. Tentu dengan mempelajari materi Wawasan Kebangsaan, seperti halnya Menwa.
Dalam Pendidikan Dasar (Diksar) Menwa, materi Wawasan Kebangsaan diberikan sebagai “menu utama”. Sebab, mengutip Prof. Muladi, Gubernur (Lemhannas RI 2005-2011), Wawasan Kebangsaan sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Artinya, Wawasan Kebangsaan merupakan faktor penentu bagi bangsa tersebut dalam mendayagunakan bangsa dan negara tersebut. Pendayagunaan tersebut berdasarkan kondisi geografis negara, sejarah, sosio-budaya, ekonomi dan politik serta pertahanan keamanan, dengan tujuan mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasional.
Dalam Diksar Menwa, dilatih pula materi Pelatihan Baris-berebaris (PBB), Peraturan Penghormatan Militer (PPM), Pendidikan Perorangan (Dikperor), Peraturan Urusan Dinas Dalam (PUDD), Kesehatan Lapangan (Keslap), Senam Senjata, Caraka, Survival, Pionering, Ilmu Medan Peta dan Kompas (IMPK), Mountenering, Keknik Tempur Dasar (Nikpursar),Pengenalan Senjata Ringan (Pengjatri), dan Halang Rintang (HR).
Pertanyaan umumnya masyarakat awam, buat apa materi-materi di atas yang nampak seperti olah keprajuritan? Toh tak semua anggota Menwa ingin menjadi prajurit?
Mari kita intip sebuah penelitian pada 2019 yang dilakukan Maula Hikam Pribany, untuk tesisnya yang berjudul Pengaruh Program Pelatihan Fisik Militer Terhadap Peningkatan Vo2max Siswa Pra Pendidikan Dasar Resimen Mahasiswa Universitas Negeri Semarang.
Apa itu VO2 Max? VO2 max mengukur jumlah maksimum oksigen yang dapat manusia gunakan (dihirup) selama berolahraga, dalam ukuran mililiter oksigen yang dikonsumsi dalam satu menit, per kilogram berat badan (mL/kg/menit). VO2 max merupakan metrik kebugaran penting selain detak jantung, jumlah kalori yang terbakar, langkah berjalan dan elemen kebugaran lainnya. Umumnya ukuran ini untuk menguji daya tahan aerobik atau kebugaran kardiovaskular atlet, sebelum dan selesai siklus latihan. Dengan mengetahui VO2 max seseorang, maka orang tersebut dapat mempertahankan intensitas latihan tertentu, mencari cara untuk berlari lebih kencang dan lebih jauh, maupun berlatih lebih keras.
Hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa UNNES tersebut, menunjukkan adanya perubahan VO2Max siswa Menwa UNNES, setelah melaksanakan pelatihan fisik militer dalam Pra Pendidikan Dasar (Diksar). Angkayang dihasilkan, terjadi peningkatan sebesar 13,3 ml/kg/min untuk siswa putra dan 11 ml/kg/min untuk besarnya peningkatan siswa putri. Artinya, simpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pelatihan fisik militer mempengaruhi peningkatan VO2Max, dan terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pre-test dengan post-test. Perbedaan tersebut mengalami peningkatan dari rata-rata klasifikasi buruk menjadi baik.
Penelitian tersebut pun menyarankan agar Menwa UNNES mempertahankan model pelatihan fisik militer dalam masa pra Pendidikan dasar tersebut, karena sudah terbuktui dapat meningkatkan VO2Max anggotanya. Jika bagus untuk kesehatan, mengapa masih mempertanyakan fungsi dan tujuan dari latihan fisik berupa olah keprajuritan dalam Diksar Menwa? Bila melihat bahwa telah terjadi beberapa kasus kematian anggota Menwa terkait pelaksanaan Diksar Menwa, maka timbul pertanyaan: siapa sebenarnya yang berwenang melaksanakan Diksar Menwa, dan yang berwenang memberikan pelatihan?
Tak sulit untuk menjawab pertanyaan mengenai pihak yang berwenang untukmelaksanaan dan memberikan pelatihan Diksar kepada Menwa, karena kita tinggal mengacu pada SKB Tiga Menteri Tahun 2000 (KB/14/M/X/2000) tentang PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN RESIMEN MAHASISWA. Isinya :
a) Pasal 1: Kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa di bidang olah keprajuritan, kedisiplinan, dan wawasan bela negara dilaksanakan melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan menjadi tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi.
b) Pasal 2: Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa sebagai komponen pertahanan negara menjadi tanggung jawab Menteri Pertahanan.
c) Pasal 3: Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa dalam melaksanakan fungsi perlindungan masyarakat menjadi tanggung jawab Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Artinya sudah jelas, bahwa segala kegiatan UKM Menwa merupakan tanggung jawab dan wewenang kampus, yang harus berkoordinasi dengan pihak Kementerian Pertahanan dalam pelaksanaan pelatihan Diksar. Hal ini karena mengingat tujuan Diksar Menwa untuk :”Meningkatkan kemampuan fisik, mental dan ketangkasan melalui olah keprajuritan, serta membentuk calon intelektual yang berdisiplin, memiliki semangat juang dan cinta tanah air serta semangat patriotisme, demi mensukseskan pembangunan bangsa”.
Maka jelas, pihak kampus yang dalam hal ini mewakili Kementerian Pendidikan, menjadi penyelenggara Diksar bagi Unit Kegiatan Khusus (UKK) Menwa. Sedangkan pihak Kementerian Pertahanan yang dalam hal ini dilakukan oleh TNI sebagaipelaksana pembinaan Menwa, termasuk pelatihan dalam Diksar. Bagaimana dengan posisi Kementerian Dalam Negeri? Selama ini, pihak Kemendagri, melalui Kesbangpolnya, memberikan dana hibah kepada Menwa. Sayangnya, bahkan sungguh disayangkan, dana hibah yang nilainya rata-rata sekitar Rp 1miliar per tahun itu, diberikan kepada Ormas yang mengatasnamakan Menwa. Padahal sudah jelas-jelas bahwa Menwa bukanlah ormas.
Di sinilah letak “salah kaprah” yang selama ini berlangsung, tepatnya sejak bermunculan ormas-ormas yang mengatasnamakan sebagai ”induk” Menwa.Ormas-ormas tersebut, yakni Konas, KMI, maupun Komenwa, saling bersaing wewenang atas Menwa. Hal inilah yang menimbulkan kekisruhan —atau bahkan perpecahan— dalam tubuh Menwa.
Menwa adalah Bagian dari Kampus, Skomen adalah Bagian dari Ormas
Menwa merupakan singkatan dari Resimen Mahasiswa. Dari namanya saja kita sudah tahu, bahwa anggota Menwa dalam struktur organisasinya adalah mahasiswa. Bukan sarjana atau alumni. Namun, selama ini pihak kampus “terbiasa” berkoordinasi atau bahkan “meminta ijin” pada Skomen di wilayah masing-masing. Padahal Skomen adalah bagian dari Organisasi Masyarakat (ormas) bernama Konas Menwa. Meski Konas Menwa kepanjangan dari Komando Nasional Menwa, nyatanya Komando Menwa berada di tangan Rektor.
Contohnya, dalam menyikapi meninggalnya Valencia Matalino Aryaputra (VMA) saat mengikuti long march pada 11 Mei 2023 di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, pihak Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengeluarkan Pernyataan Pers. Pada poin keenam Pernyataan Pers itu menyebutkan bahwa “Pihak Menwa UNJ sebelum melakukan kegiatan pembaretan dan bakti sosial, selain melakukan perijinan kepada pihak dosen pembimbing dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, juga mengajukan ijin dan penilaian kelayakan kegiatan kepada Komando Resimen Mahasiswa Jakarta Raya. Berdasarkan Nomor Surat: SP-01/SKOMEN/V/2023 yang dikeluarkan oleh Komando Resimen Mahasiswa Jakarta Raya, menyatakan bahwa Menwa UNJ sudah mempersiapkan Rencana Latihan dan mempersiapkan Pembaretan sesuai Standar Operasi Prosedur (SOP) Resimen Mahasiswa Jayakarta dan sudah memenuhi syarat untuk melaksanakan pembaretan dan bakti sosial. Hal ini yang kemudian menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pembaretan dan bakti sosial angkatan 49 Menwa UNJ.” (Republika.com, 16/5/2023)
Timbul pertanyaan, mengapa pihak yang mengklaim diri sebagai Komando Menwa secara nasional atau se-Indonesia, tidak ada yang memberikan keterangan pers, apalagi dimintai pertanggungjawaban? Mengapa pihak kampus memberikan “pengakuan” terhadap ormas yang mengklaim diri sebagai “komando” Menwa, padahal sudah jelas menurut SKB Tiga Menteri tahun 2000 bahwa Menwa adalah UKM atau UKK kampus, yang komando tertingginya adalah Rektor? Ada apa antara kampus dengan ormas?
Lalu dimana letak Skomen-nya Konas, ataupun letak KMI dan Komenwa dalam Struktur Organisasi UKM Menwa? Jelas tidak ada hubungannya antara UKM Menwa dengan ketiga ormas tersebut. Alasannya:
- Konas Menwa, KMI, maupun Komenwa, semua itu adalah Organisasi Masyarakat (Ormas). Betul bahwa ormas memang tidak dilarang berpartisipasi dalam penyelenggaran pertahanan negara. Padahal jelas, pertahanan negara tidak dapat dikelola tanpa dasar hukum yang jelas. Putusnya garis komando langsung antara TNI dan satuan- satuan Menwa pasca reformasi, memunculkan inisiatif sepihak dari kalangan alumni Menwa untuk mendirikan “Komando” alias induk, agar Menwa tak kehilangan induk. Namun sesungguhnya, berdirinya organisasi “induk” ini tidak ada legalitas yang didasarkan pada peraturan dan perundangan yang berlaku.
- AD/ ART Menwa disusun dan dibuat oleh pihak kampus masing-masing. Dan dalam AD/ART Menwa yang selama ini ada, tak ada satupun dalam berbagai AD/ART Menwa tersebut, yang menyebutkan keberadaan maupun hubungan antara UKM Menwa dengan ormas-ormas yang mengklaim diri sebagai “induk Menwa”.
- Ormas tidak punya wewenang untuk mengatur UKM Kampus. Tetapimengapa Konas -KMI- dan Komenwadapat mengklaim diri sebagai “induk” Menwa, dan memegang wewenang terkait pembinaan dan bahkan pengaturan pembiayaan? Dalam Sistem Pertahanan Negara Republik Indonesia yang menganut Sistem Pertahanan Semesta, partisipasi rakyat tetap harus diatur. Agar peran Ormas harus tetap dalam koridor yang jelas dan dibatasi oleh peraturan atau legalitas.
- Berdasarkan UU Hanneg 2002 maupun UU PSDN 2019, Menwa seharusnya menginduk pada institusi negara yang memang diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya nasional untuk pertahanan negara. Bukan kepada Ormas.
- Dalam UU PSDN 2019, tidak ada ruang bagi Konas Menwa, KMI, paupunKomenwa, dalam penataan dan pembinaan Menwa Indonesia, sehingga pengaruh Komandan Konas Menwa tidak terlihat begitu besar dalam penyusunan regulasi terkait Menwa.
- Terkait keberadaan Skomen, jelas ilegal. Sebab, pendirian Konas Menwa (sebagai induk Skomen), tidak memiliki legalitas. Sehingga dana hibah dari Kesbangpol kepada Ormas yang mengatasnamakan Menwa, adalah sepenuhnya salah sasaran. Bahwa Kesbangpol Kemendagri berhak memberikan dana hibah kepada ormas, sah sesuai UU. Namun harap diingat bahwa selama ini, ketiga ormas yang mengatasnamakan Menwa itu, sejatinya tidak memiliki anggota. Mereka “mendayagunakan” alias mengklaim mahasiswa yang menjadi anggota UKM Menwa sebagai anggota “ormasnya”.
Dengan demikian, pihak kampus seharusnya memutus hubungan dengan Skomen maupun ormas-ormas Menwa tersebut, lalu mengkoordinasikan pembinaan dan pembiayaan UKM Menwa dengan pihak Korem dan Kesbangpol, sesuai SKB Tiga Menteri tahun 2000. ***
Leave a Reply