Penulis: Heri Kris

Pameran bersama yang diselenggarakan oleh beberapa perupa dengan tema “Spirit of human” di galeri Omah Budoyo Yogyakarta adalah berawal dari kegelisahan mereka tentang munculnya kecenderungan mainstream seni rupa saat ini. Dimana banyak karya-karya yang beredar memiliki tipe dan teknik yang hampir sama. Kekuatan pop surealis yang begitu besar telah menjadikan primadona bagi para perupa muda saat ini yang karyanya sering kita saksikan di beberapa pameran seni rupa di Indonesia.

Hal ini mengingatkan kita pada popularitas kelompok Lowbrow dari Los Angles California di akhir tahun 1960 sampai 1970 dengan salah satu tokohnya bernama Robert Williams. Dia adalah seorang pelukis Amerika, kartunis dan pendiri majalah Juxtapos art and culture. Kehadiran pop surealisme kemudian bergulir terus memunculkan banyak perupa yang juga menggarap tema yang sama seperti Carl Moore, Ken Vrana, Tony Leone, Mike Ferrari dan lainnya.

Seni rupa yang lahir underground dengan ciri khas graffiti, komik, lukisan yang menampilkan benda-benda populer, musik punk, budaya hot-rod adalah bagian dari aktivitas mereka. Absurd dan surealistik menjadi ideologi kelompok tersebut dan sekarang telah mewabah di Indonesia dalam wujud yang hampir sama. Banyak muncul tokoh kartun, boneka imajiner, benda-benda toys dan sebagainya. Mainstream biasanya tidak pernah lama seiring dengan market atau permintaan pasar akan karya-karya jenis tertentu. Perupa yang tidak konsisten akan beralih pada kecenderungan yang lebih baru, dan yang konsisten akan mendapat posisi yang kuat dan dicatat dalam sejarah seni rupa.

Mereka yang menggelar pameran saat ini adalah: Andi Hartana, Ary Kurniawan, Budi Barnabas, Catur Nugroho, Dimas Permana, Gusti Ketut Alit, N Rinaldy, Rizal Ketdhes, Ronald Effendi, Sri Pramono, Suryo dan Uswarman. Para perupa tersebut memamerkan karya seni rupa dalam bentuk lukisan dan patung di galeri Omah Budoyo Mergangsan Yogyakarta. Tema “Spirit of human” atau jiwa manusia dalam pameran ini bisa dimaknai sebagai representasi atas karya-karya yang mengakar pada ekspresi jiwa manusia (seniman). Karya yang dilahirkan dari hasil pengendapan atas pengalaman bathin ataupun metafora dari imajinasi-imajinasi atas moment estetis. Karya-karya yang di pamerkan lebih banyak tergolong abstrak dengan karakter masing-masing.

Karakter yang muncul lebih mewakili pribadi setiap senimannya dan berjarak satu dengan lainnya. Sebuah karakter atau kepribadian manusia terbentuk sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis, lingkungan fisik, kebudayaan dan tentunya pengalaman-pengalaman personal. Hal inilah yang menumbuhkan terbentuknya sebuah kepribadian dan jiwa seseorang termasuk didalam seniman berkarya. Pembentukan karakter seseorang juga akibat dari kebiasaan yang terus-menerus dilakukan dari masa kecil hingga dewasa. 

Menghadirkan Kembali karya-karya yang cenderung abstrak dengan ekspresi  personal ditengah arus deras gaya pop surealisme tentunya sebuah tantangan tersendiri. Keduanya merupakan gaya yang berbeda dimana yang satu masih menggarap anatomi plastis dan benda-benda populer, sementara yang satu mengaburkan dan terbebas dari ilusi bentuk alam.

Jika kita menyebut tentang paradigma abstrak tentunya tak bisa dilepaskan dari tokoh pionir abstrak bernama Wassily Kandisky yang lahir di Moskow Rusia 1866. Setelah meredupnya gaya impresionisme barat Kandinsky memunculkan aliran abstrak yang merupakan pembaharuan dari gaya sebelumnya. Dia juga dianggap sebagai pelukis pertama yang menggarap abstrak murni, dan kemudian banyak bermunculan pelukis-pelukis Amerika dan Eropa lainnya. Mereka menggarap abstrak sebagai pilihan gayanya seperti Jackson Pollock yang lahir di Amerika tahun 1912 dan Willem de Kooning yang lahir di Rotterdam Belanda tahun 1904. Willem de Kooning lebih dikenal sebagai eksponen abstrak ekspresionisme di Amerika karena lebih lama tinggal disana.

Di Indonesia salah satu pelopor pelukis abstrak adalah Fadjar Sidik yang lahir di Surabaya tahun 1930. Fadjar Sidik dikenal sebagai pelukis yang sudah mencapai kemurnian bentuk (purity of form). Dia juga dianggap sebagai agen perubahan seni lukis modern Indonesia. Selain Fadjar Sidik ada juga pelukis Ahmad Sadali yang lahir di Garut tahun 1924 dan meninggal pada tahun 1987. Lukisannya bergaya abstrak yang sering dikenal dengan banyak menampilkan bidang-bidang yang dikomposisikan dengan warna coklat dan warna emas. Perkembangan seni rupa yang bergaya abstrak juga terjadi di sekitar tahun 2000 dimana banyak bermunculan karya dari generasi muda di Yogyakarta dan Bali. Gaya abstrak ekspresionis banyak muncul di tahun 1998 sampai 2005 yang memadukan unsur lokalitas dan ekspresi personal. Made Sukadana, Nyoman Sukari, Made Sumadiyasa, I Gusti Alit Cakra dan tentunya masih banyak pelukis lainnya yang menggarap lukisan dengan gaya abstrak yang memunculkan idiom-idiom tradisi. Ukuran kanvas yang cenderung besar dengan goresan ekspresif menggunakan kuas lebar menjadi ciri khas mereka dan banyak diminati oleh para pecinta seni waktu itu. 

Pada pameran “Spirit of human” saat ini para perupa banyak menampilkan karya dengan gaya abstrak dan nuansanya berbeda sesuai dengan perkembangan teknik dan gaya kekinian. Simak karya Ary Kurniawan dengan judul “Duniamu”,120X80cm,akrilik di kanvas,2021. Karya yang menampilkan idiom benda dan tulisan dengan komposisi yang cukup teratur namun spirit kekanakan (childish) terasa dalam lukisan tersebut. Andi Hartana juga menampilkan karya dengan gaya abstrak childish dalam komposisi 3 panel dengan judul “Study Java Script, page 13”,45X35cm (3 panel),akrilik di kanvas,2023. Lukisan dengan nuansa abu-abu dengan guratan garis-garis spontan menggambarkan seperti sebuah naskah yang tidak cukup teratur komposisinya. Image dan garis-garis dibuat secara acak dan ekspresif.

N Rinaldy menyuguhkan lukisan dengan judul “Live together die alone #3”,150X135cm,akrilik di kanvas,2024. Melihat dari judul tersebut sepertinya Rinaldy ingin berbicara tentang eksistensi manusia, dimana seorang manusia ketika hidup dalam sistem sosial dan kemandirian dalam kesadaran hingga kematian tiba. Uswarman menampilkan lukisan yang berjudul “Un focus”,150X150cm,akrilik di kanvas,2017. Sebuah lukisan dengan goresan intuitif tanpa image dengan garis melingkar bulat menuju sebuah titik ditengah mirip sebuah sasaran bidik pada pusatnya, sementara judul lukisan tersebut “Un focus” atau tidak fokus.

Suryo dalam pameran ini menampilkan lukisan dengan judul “Masih ada harapan”,200X200cm,akrilik di kanvas,2022. Sebuah lukisan abstrak dengan image yang samar dan goresan yang lembut disertai garis-garis kecil. Lukisan tersebut cukup enigmatik dan membangun dialog yang multy interpretatif. Hal tersebut juga mirip apa yang dilakukan Sri Pramono dalam karya lukisannya yang berjudul “Nature and spiritual”,160X140cm,media campuran di kanvas,2023. Sri Pramono banyak terinspirasi oleh keindahan alam pegunungan yang kemudian diekspresikan dalam abstraksi yang semiotik. Sri Pramono lukisannya menggunakan teknik impasto dan material campuran dengan menyusun kolase membentuk benda-benda imajiner. Lukisan tersebut membawa persepsi tentang merenungi dan menikmati alam dapat membawa kesadaran spiritual bagi manusia kepada Tuhan sang pencipta semesta.

Catur Agung Nugroho adalah salah satu perupa yang menggunakan material karya yang unik dengan judul “Shadow of luxury”,60X80cm,plastik akrilik resin dikanvas,2024. Material plastik yang sering menjadi sampah diubah oleh Catur menjadi karya yang menarik dan inovatif. Ini sebuah langkah upcycle bagaimana menggeser esensi benda yang tidak terpakai dan berbahaya bagi lingkungan dirubah menjadi benda seni yang bernilai. Dalam lukisan tersebut plastik telah disusun secara intuitif dengan warna biru monochrome. Sebuah lukisan dengan judul bayangan yang luxury (mewah) cukup artistik dan puitis.

I Gusti Ketut Alit salah satu pelukis abstrak yang mengkomposisikan beberapa lukisan kecil-kecil menjadi satu tema lukisan. Judul karya yang dipamerkan adalah “Rekap ruang”,50X50cm (12 panel),akrilik di kanvas,2024. Lukisan kecil-kecil tersebut digarap dengan goresan yang memakai tekanan emosi sehingga nampak ekspresif, kemudian dikomposisikan sesuai dengan irama goresan dan garis serta warna. Lukisan tersebut nampak apik dan menggugah pemerhati untuk masuk lebih dalam pada makna lukisan. Dimas Permana saat ini menyuguhkan lukisan yang berjudul “Daily Emotion”,150X150cm,akrilik di kanvas, 2023. Lukisan abstrak yang menggunakan dua teknik goresan dalam satu lukisan. Background dibuat dengan goresan yang emosional dan diatasnya ada image yang digarap dengan goresan yang lembut dan terukur. Sebuah warna dan goresan adalah mewakili simbol keadaan saat itu, dimana emosi akan terwakili oleh garis maupun goresan. Tekanan brushstroke atau goresan kuas adalah semiotika dari perasaan dan emosi seseorang saat melukis, dan itulah yang dirasakan Dimas setiap hari.

Ronald Efendi Simabua menghadirkan lukisan yang lebih kepada seni konseptual berjudul “Realism after Gustave Courbet”,150X150cm,akrilik di kanvas,2023. Dalam lukisan tersebut ada dua tanda yang dapat dibaca dan dilihat yaitu teks dan abstraksi. Ada sebuah tulisan yang pernah diucapkan seorang Gustave tentang arogansi para kaum realis yaitu “Show me an angel and I will paint one” yang berarti “Tunjukkan aku seorang malaikat dan saya akan melukisnya”. Jean Desire Gustave Courbet lahir tahun 1819 adalah pelukis Perancis yang memimpin gerakan realisme. Namun dalam lukisan Ronald lebih bergaya abstrak bukan realis dan ini adalah permainan konsep dalam analogi yang terbalik. Selain lukisan ada dua pematung yang juga ikut dalam pameran saat ini yaitu Rizal Ketdhes dan Budi Barnabas. Kedua perupa tersebut lebih konsentrasi menggarap karya tiga dimensi dengan media yang berbeda dengan lukisan. Budi Barnabas memamerkan karya patung yang berjudul “Water splash”,100X90X80cm,kuningan,2024. Dalam karya patung Budi Barnabas yang abstrak tersebut memperlihatkan bahwa bahan kuningan yang keras dapat dibentuk mengalir seperti percikan air. Tentunya dalam dunia patung memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dengan lukisan dan masing-masing harus memiliki skill (ketrampilan) khusus.

Pameran seni rupa dengan tajuk “Spirit of human” yang mayoritas bergaya abstrak ditengah arus pop surealisme adalah sesuatu hal yang menarik untuk disimak. Setidaknya selalu ada gejala baru dalam sebuah perkembangan seni rupa. Bukan seperti isme yang berkembang di Eropa maupun Amerika dengan tradisi membuat sebuah deklarasi atas penemuan teori baru disana. Akan tetapi hal tersebut menunjukkan ada banyak gaya dalam seni rupa yang berkembang di Indonesia. Seni rupa timur seperti di Indonesia perkembangannya terjadi atas pengaruh seni modern dunia termasuk Eropa dan Amerika yang di kuatkan oleh nilai lokalitas maupun personalitas. Hegemoni barat memang kuat terjadi karena seni modern sudah lama muncul disana dan banyak di salin menjadi pelajaran maupun perkuliahan di Indonesia. Hal inilah yang sampai sekarang membuat bayang-bayang seni rupa barat pada perkembangan seni rupa Indonesia. Namun tidak pada seni kontemporer yang inspirasinya banyak mengambil sebuah kejadian terkini atau tentang isu yang paling mutakhir dan setiap negara memiliki posisi yang setara dalam berkontestasi.

Yogyakarta, 25 April 2024

Heri Kris adalah perupa dan kurator alumni ISI Yogyakarta