Oleh: Heri Kris *

Prof. Dr. M. Dwi Marianto, MFA, Ph.D lahir di Jakarta 19 Oktober 1956  sering dipanggil Prof. Dwi atau pak Dwi. Dia adalah seorang guru besar seni rupa yang aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi di Indonesia khususnya ISI Yogyakarta. Dia sudah cukup banyak menulis tentang seni rupa yang menjadi rujukan bagi para mahasiswa seni maupun para profesional. Walaupun aktif mengajar dan menulis jurnal ilmiah dan buku seni rupa tapi dia juga cukup aktif berkarya dalam bentuk seni grafis, sketsa dan beberapa seni tiga dimensi.

Ada beberapa hal yang menarik dalam pengamatan saya mengenai karya-karyanya dalam pameran tunggalnya yang kedua saat ini dengan tema “Realitas dan Absurditas” yang diselenggarakan pada 19 sampai 25 April 2024 di G Printmaking Art studio Yogyakarta. Karya-karyanya dengan tema keseharian (realitas) banyak merespon objek ketika dia membuat sketsa on the spot baik pemandangan alam (land scape) maupun pemandangan kota (city scape).

Selain itu juga ada beberapa karyanya bertemakan absurditas hasil dari gagasan (mind scape) dalam dua dimensi maupun seni instalasi. Karya sketsa yang sering dia buat kebanyakan dia lakukan saat mengajar sketsa bersama para mahasiswa diluar kelas. Ada tarian garis besar kecil dan panjang pendek juga tebal tipis digarap dengan ritmis dalam sketsa M. Dwi Marianto. Objek yang digarap cukup tertangkap karakternya baik itu berupa bangunan-bangunan tua maupun hiruk pikuk manusia dan juga pepohonan yang ada di alam. Hal tersebut adalah sebuah realitas yang digarap apa adanya tanpa sebuah penyimpangan deformasi maupun distorsi. Namun ada karya yang cukup berbeda yang digarap pak Dwi yang bersifat konseptual. 

Sebagai seorang guru besar dan seorang dosen seni rupa di beberapa perguruan tinggi seni tentunya dia memiliki kesibukan yang sangat padat, namun demikian dia masih memiliki waktu cukup untuk berkarya. Menurut saya hal tersebut adalah sikap yang ideal sebagai seorang dosen seni rupa selain memiliki pengalaman yang cukup tentang praktek karya seni rupa dia juga menguasai beberapa teori sebagai landasan penguat pemikiran ilmiah tentang seni rupa.

Ada beberapa buku seni rupa yang telah dia buat salah satunya adalah buku dengan judul “Seni & Daya Hidup Dalam Perspektif Quantum”. Bahkan dalam disertasinya saat kuliah di Wollongong Australia dia menulis tentang  karya surealis dengan judul  “Surrealist Painting in Yogyakarta” yang diselesaikan pada tahun 1995.

Hal inilah yang kemungkinan membawa Prof. Dwi memiliki spirit dan ketertarikan untuk menciptakan karya-karya  surealistik dan absurd. Dalam sebuah percakapan diskusi kami berdua menurutnya realitas sosial dan mitologi yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia sangatlah kental dengan hal-hal yang surreal dan absurd (aneh, janggal, tidak masuk akal, atau tidak jelas).

Kluwak adalah salah satu subject matter yang menarik diolah dalam karyanya. Kluwak atau kepayang adalah salah satu pohon yang unik tumbuh liar di sekitar kita. Karakter bijinya memiliki kontur yang unik dan isinya berwarna coklat kehitaman yang cukup enak jika dibuat bumbu masakan khas Indonesia seperti rawon, brongkos dan lainnya. Dalam pengamatannya pohon kluwak keberadaannya sudah cukup langka di Indonesia karena penebangan yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak mempertimbangkan sisi kelestarian pohon tersebut.

Salah satu penyebabnya adalah masyarakat kita masih percaya dengan mitos bahwa pohon besar pasti ada penunggu makhluk astral tak kasat mata sehingga harus ditebang. Padahal pohon besar adalah penyeimbang ekosistem dimana disitu banyak tersimpan air yang menunjang kesuburan tanah serta konstruksi tanah menjadi lebih kuat dan tidak mudah longsor.

Absurditas terbangun dalam masyarakat dimana tradisi yang tidak masuk akal telah menjadi mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, kemudian hal tersebut direspon oleh Prof. Dwi menjadi karya seni rupa. Menurut dia kluwak ibarat “Black diamond” di bumi Nusantara yang terabaikan, sementara keunikan sifatnya jika dikelola dengan benar akan menjadi aset negara yang sangat menguntungkan. Nenek moyang kita secara turun-temurun telah berhasil membudidayakan kluwak yang memiliki sifat sianida telah berhasil ditransformasi menjadi bumbu masakan yang sedap, sekaligus sebagai pengawet alami untuik makanan. 

Realitas dan absurditas adalah dua sifat yang sering bertentangan namun sebenarnya keduanya berdampingan dalam hidup manusia sekarang bahkan absurditas tersebut adalah realitas yang terkadang tidak sadar dialami masyarakat setiap hari, karena hal tersebut berkembang dalam kehidupan manusia modern saat ini. Seperti dalam kehidupan masyarakat Papua di pegunungan dalam, mereka masih susah untuk membeli mie instan dan harus berjalan jauh sambil membawa pisang untuk ditukar dengan mie kepada orang lain.

Sementara alam Papua yang mereka tinggali adalah sebagai salah satu penghasil emas terbesar di dunia. Banyaknya kecelakaan akibat pengendara tertimpa baliho yang besar yang dipasang oleh pihak penjual jasa iklan di jalan raya saat hujan deras disertai angin kencang. Akan tetapi kejadian kecelakaan tersebut tidak menjadi bahan evaluasi oleh pihak terkait namun semakin banyak baliho besar untuk iklan dipasang sampai menjorok ke tengah jalan raya di kota-kota besar di Indonesia. Dan masih banyak absurditas lainnya yang telah menjadi realitas dan menyatu dalam kehidupan masyarakat kita.

Dalam pameran tunggal yang kedua saat ini M. Dwi Marianto menyuguhkan dua jenis karya secara konseptual. Yang pertama adalah karya-karya dua dimensi yang melukiskan tentang realitas keseharian dimana dia mendapatkan momen saat menangkap objek secara langsung seperti dalam karya sketsa diatas kertas dan dia juga memamerkan beberapa karya seni grafis.

Ada beberapa karya sketsa diantaranya objek kantor pos dengan judul “Ada zaman ada hikmah” tahun 2023. Karya city scape semacam ini memang banyak merekam objek-objek gedung bersejarah, dimana gedung tersebut biasanya menyimpan catatan dan kenangan peristiwa yang berkaitan dengan revolusi fisik maupun era setelah Indonesia merdeka. Karya sketsa yang bersifat heritage juga terdapat dalam sketsa yang berjudul “Lawang sewu” tahun 2022. Sebuah gedung tua bersejarah di kota Semarang Jawa Tengah yang memiliki banyak sekali ruang dan pintu. Lawang sewu (pintu seribu) dibangun mulai tahun 1904 dan selesai tahun 1919 pada zaman Belanda. Gedung tersebut seolah-olah memiliki seribu pintu besar karena jumlahnya yang begitu banyak. Lawang sewu adalah gedung perkantoran yang digunakan perusahaan kereta api pada zaman Hindia Belanda. Karya sketsa yang bersifat heritage (warisan) lainnya adalah “Kalasan temple” dimana candi tersebut memiliki 52 stupa terletak diantara kota Surakarta dan Yogyakarta. Karya lainnya adalah dengan judul “Ganjuran temple” tahun 2022 dimana candi Ganjuran yang tidak begitu besar terletak didaerah Bantul Yogyakarta. Ada juga karya sketsa diatas kertas dengan judul “Black eruption” tahun 2023. Sketsa ini menunjukkan betapa negeri ini banyak dikelilingi gunung berapi aktif dan sering mengeluarkan lahar dengan gumpalan awan panas. Sketsa karya M. Dwi Marianto memiliki sifat artistik dengan tarian garis ritmis yang menangkap objek secara cermat dan berkarakater. Garis-garis serta sapuan transparan saling tumpang tindih membentuk kesan objek yang diangkat dalam tema karya. Disitulah terjadi transformasi realitas objek kedalam wujud karya seni dua dimensi yang apik. Selain karya-karya yang di pamerkan tentunya M. Dwi Marianto masih memiliki banyak karya sketsa lainnya sebab banyak objek yang dia kerjakan disaat waktu luangnya. Sketsa merupakan salah satu cara perupa melatih daya rekam dan ketrampilan dalam menangkap objek diam maupun objek bergerak secara cepat. Sketsa adalah salah satu media seni rupa yang paling praktis dan mudah dibawa kemana saja.

Selain karya-karya yang merekam objek dalam kehidupan nyata (realitas) M. Dwi Marianto juga mengerjakan karya-karya yang bersifat surreal dan absurd. Penelitian dia saat menempuh kuliah S3 dI Wollongong Australia tentang karya surealis yang berkembang di Yogyakarta di tahun 70-an dan 80-an setidaknya cukup mempengaruhi dalam karyanya. Sehingga sering muncul pikiran-pikiran absurd secara sadar maupun tidak sadar saat berkarya. Kita bisa simak dalam karyanya yang berjudul “Mendaki vertikal” cetak digital diatas kertas, 46X46cm, 2023. Objek karya tersebut menggambarkan bumi dengan peta Nusantara yang diatasnya terdapat semacam jejaring biji kluwak yang akan mengelilingi dunia. Jika permainan semiotika tersebut dibaca sepertinya M. Dwi Marianto berpendapat bahwa kluwak adalah aset tersembunyi dari bumi Nusantara yang memiliki potensi bermanfaat untuk dunia. Fakta tersebut sekarang masih tidak jelas (absurd) mirip komposisi dalam gambar karya tersebut. Karya dia yang lain berjudul “Golden kluwak” cetak digital diatas kertas, 40X56cm, 2023 dimana karya tersebut menggambarkan sebuah biji kluwak yang terbuat dari emas berukuran besar terbang melayang di angkasa di antara gugusan bintang-bintang. Sebuah kekayaan alam seperti rempah-rempah (biji kluwak) jika diolah dengan serius dan benar akan menghasilkan sesuatu yang besar bagi negara dan bangsa bahkan bisa menguasai dunia. Namun yang terjadi saat ini biji kluwak berada dalam kondisi yang samar, tidak jelas (absurd) hanya sepenggal-sepenggal kita temukan diwarung-warung dan rumah makan, masih belum mampu berubah gigantik menjadi sebuah komoditas. 

Dalam pameran tunggal saat ini setidaknya Prof. Dwi telah memperlihatkan sebuah endapan ide-ide yang akhirnya menyublim menjadi pikiran-pikiran yang terekspresikan dalam bentuk karya. Sebagai seorang Profesor tentunya M. Dwi Marianto memiliki pemikiran murni dan harapan besar atas semua yang dia teliti dan analisa dalam penulisan ilmiah. Diantaranya adalah bagaimana dia mengulik dan mempelajari prinsip pendekatan Quantum dan menerapkannya dalam memahami seni dan fenomena budaya yang mewarnai seni secara alamiah dan non-alamiah. Mempelajari tentang Daya Hidup (Levitational Force) dalam kaitannya dengan seni. Dia juga selalu aktif mengamati botani, vegetasi, dan etnobotani sampai akhirnya memilih salah satu pohon rempah untuk diamati dan disosialisasikan melalui karya tulis dan seni rupa.

Sleman, 15 April 2024

  • Perupa dan Kurator Alumni ISI Yogyakarta