Catatan Heri Kris untuk Khadir Supartini, perupa muda kelahiran Sleman, DI Yogyakarta

Behind the eye adalah sebuah tajuk dalam pameran tunggal seni rupa Khadir Supartini yang dilaksanakan pada Juni 2023 di Taman Budaya Yogyakarta. Sebuah pameran seni rupa yang menampilkan beberapa karya dua dimensi dan tiga dimensi. Behind the eye (dibalik mata) memberi pemahaman bahwa mata manusia adalah sebuah indera awal yang menyerap segala momen maupun objek yang kemudian menjadi inspirasi dalam berkarya oleh seorang seniman. Dibalik mata sering tersimpan banyak hal yang mengalir ke otak dan menjadi sebuah pemikiran dan gagasan seorang manusia. Mata adalah semacam pintu interaksi oleh seorang manusia dimana baik dan buruk indah tidaknya influens yang masuk kedalam jiwa seseorang, begitu juga dalam kesenian (seni rupa) mata berperan sangat penting ketika pertama kalinya sebuah peristiwa dilihat lewat mata dan kemudian direkam oleh pikiran. Dari situlah awal mula karya-karya besar seniman lahir melalui proses alat indera mata. Dalam hal ini Khadir Supartini ingin menegaskan bahwa indera mata adalah bagian tubuh yang teramat penting dalam proses terciptanya karya-karya seni rupa.

Khadir Supartini adalah perupa muda lahir di Sleman 13 Desember 1988. Saya mengenal Khadir sekitar tahun 2009 ketika itu dia bersama teman-teman perupa Sleman membuat komunitas untuk tujuan pameran bersama dan selanjutnya membuat forum diskusi bedah karya. Forum tersebut berjumlah sekitar 15 perupa dan setiap bulan menghadirkan karya mereka untuk didiskusikan bersama. Masing-masing karya (lukisan) dibedah dari beberapa sisi baik konsep,teknik,media serta proses kreatifnya. Setelah berjalan beberapa tahun ternyata karya-karya mereka sangat progresif dan artistik. Sebagai pembina saya juga sering terlibat diskusi yang berkaitan dengan karya mereka. Saya mengenal Khadir adalah seorang anak muda dengan pribadi yang supel mudah bergaul dan memiliki kemauan berkarya dengan semangat yang tinggi. Ada banyak cerita pribadi dan karya-karyanya setelah sekian tahun saya menjadi teman dekat dan teman sharing dalam proses berkeseniannya. Pada akhirnya karya lukisan Khadir Supartini mengalami perkembangan yang cukup bagus, unik dan personal. Da banyak pengalaman hidupnya yang memberi inspirasi dalam dia berkarya. 

PERUPA Khadir Supartini DAN KARYANYA. (Foto Dok. Pribadi)

Nenek Moyangku Seorang Pedagang

Sebagai seorang anak keturunan Arab dari ayahnya dimana negara Arab sangat piawai dalam strategi dagang dan sebagian besar penduduk Timur Tengah adalah berdagang berbagai macam barang kebutuhan masyarakat. Ibunya juga seorang pedagang yang ulet di pasar tradisional di Yogyakarta, tak bisa dielak jika Khadir Supartini memiliki insting bisnis yang cukup hebat. Arab sangat dikenal karena agama Islam lahir disana dimana masyarakatnya sebagian besar hidup dari dunia bisnis atau berdagang. Bahkan sebelum Islam hadir disanapun masyarakat Arab sudah terbiasa hidup dari berdagang, karena mereka tidak memiliki sumber daya alam yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun Arab merupakan lokasi strategis pertemuan jalur perdagangan negara-negara Timur dan Barat.  Hal ini juga menginspirasi Khadir dalam melukis dan dipertegas dalam bentuk teks “Nenek moyangku seorang pedagang” disalah satu lukisannya. 

Khadir disaat konsentrasi berkarya di studionya dia tidak pernah lupa untuk menemani ibunya ke pasar tradisional untuk mengurus dagangannya sejak beberapa tahun lalu. Banyak kehidupan sosial di pasar tradisional yang memberinya inspirasi dalam karyanya. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah momen dimana ketika para pedagang pasar tradisional sibuk mengatur dan menawarkan dagangannya dipasar dan pinggir jalan, namaun dalam waktu yang sama pula banyak anak-anak muda yang pulang dari diskotik maupun night club berseliweran dijalan yang sama. Hal tersebut sempat menggelisahkan dia   dan menjadikan sebuah gagasan yang dituangkan dalam lukisan.

Sebagai seorang perupa Khadir membutuhkan spirit yang kuat agar memperoleh hasil karya yang maksimal. Spirit atau jiwa sangat dibutuhkan dalam karya fine art karena setiap pribadi seniman sebenarnya memiliki sisi pribadi yang berjarak satu dengan lainnya yang kemudian membentuk sebuah karakter diri. Di tahun 2010 lukisan Khadir menggunakan teknik realis dan banyak mengeksplorasi figur-figur sosok semacam transgender dengan pose yang cukup seronok. Sosok figur tersebut lebih mendekati karakter orang-orang Timur tengah dengan bulu yang lebat dan hidung yang mancung. Kemungkinan ada sebuah parodi yang ingin disampaikan Khadir dalam lukisan-lukisan tersebut sebagai bentuk ekspresi jiwanya. Sebagai anak keturunan Arab Khadir lebih menunjukkan image sebagai sosok yang terbuka, bebas dan berpandangan futuristik dari pada seorang yang terkesan religius seperti masyarakat Arab pada umumnya. Kunjungannya kebeberapa negara Arab dan Eropa beberapa tahun lalu telah memberikan banyak pengalaman dan pencerahan dari pola pikir dia tentang konsep-konsep ortodok menjadi lebih rasional dan sekuler.

Ekspresionistik dan Impulsif

Dalam perkembangan karyanya Khadir Supartini mengalami beberapa proses eksperimentatif yang beragam dalam lukisannya. Dari lukisan yang berpijak pada teknik realis yang dipadu dengan goresan-goresan abstrak, kemudian mengalir berevolusi sampai pada teknik ekspresionistik dan semi abstrak. Ekspresionisme sebuah aliran yang muncul di barat dimana objek maupun figur dalam lukisan hanyalah menjadi sebuah pemantik gagasan yang kemudian diekspresikan secara spontan oleh senimannya sesuai dengan keadaan jiwanya. Dalam aliran tersebut kondisi emosi dan suasana pikiran maupun perasaan sangat menentukan hasil sebuah karya.

Seorang pelukis ekspresionis selalu menggunakan kendali emosi yang dihubungkan dengan sebuah tragedi maupun pengalaman empirik lainnya untuk menghasilkan karya yang diinginkannya, hal tersebut dinamakan “Pathos” atau sebuah kendali emosi. Dalam sastra istilah “Logos” lebih mewakili argumentasi namun dalam seni rupa bisa berwujud gagasan yang dikemas dalam goresan dan image bentuk yang memiliki makna semiotik. Seni rupa ekspresionistik sebenarnya lebih merepresentasikan karya yang bersifat aktual dan sudah didistorsi kearah suasana tertentu sesuai dengan momen yang terjadi waktu itu. Seni lukis yang beraliran ekspresionisme memiliki dua tipe yaitu figuratif dan abstrak. Seni lukis ekspresionisme figuratif memiliki kecenderungan untuk mendistorsi kenyataan dengan efek-efek emosional. Dan abstak ekspresionisme lebih mengutamakan ekspresi murni tanpa mempertimbangkan figur bentuk yang ada di alam. Seperti halnya Khadir Supartini dia adalah sebuah pribadi yang terpisah dengan lainnya secara kekaryaan walaupun dalam kehidupan dia seorang makhluk sosial yang supel. Karya yang bersifat ekspresionis seperti yang digarap Khadir memiliki jarak karakter dari pribadi satu seniman dengan lainnya. Lukisan-lukisan Khadir memiliki tema yang unik dan personal dibanding pelukis lainnya, hal tersebut sering di tulis dalam analisa psikologi oleh Sigmund Freud yang menganggap bahwa setiap orang apalagi seniman memiliki aspek internal dan emosi yang membawa imajinasi dan fantasi secara personal. Dalam berkarya secara impulsif Khadir banyak dipengaruhi alam bawah sadar (impuls) yang muncul menjadi garis, image, brushstroke dan pernik-pernik lainnya dalam lukisan. Menurut Freud kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yaitu sadar,prasadar dan tak sadar. Dalam hal ini proses dari sublim menjadi impuls yang muncul kedalam karya ekspresionistik dan masuk dalam golongan prasadar (tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antara sadar dan tak sadar). Sedikit menilik sejarah ekspresionisme barat sampai pada ekspresionis kontemporer saat ini telah banyak mengalami pergeseran persepsi dan wujud. Seperti yang dilakukan Ferdinand Hodler (Swiss, 1853-1918) maupun Vincent Van Gogh (Belanda,1853-1890) mereka adalah pelukis yang melakukan perlawanan terhadap kemapanan impresionisme barat dimana mereka sudah tidak lagi terkotak pada kesan-kesan objek alam namun lebih mengolah gagasan kedalam kebebasan distorsi dan suasana kejiwaan diri seniman. Edvard Munch lahir di Norwegia tahun 1863 adalah juga salah satu tokoh ekspresionisme yang karyanya cukup terkenal seperti “The scream” dilukis pada tahun 1893. Salah satu pelukis dijaman ekspresionisme barat berkembang adalah Max Beckmann lahir di Leipzig Jerman 1884 dan meninggal pada tahun 1950. Karya Max dianggap sebagai contoh terkemuka dalam karakter “Neue Sachlichkeit” (Objectivitas baru) yaitu sebuah gerakan yang dibedakan oleh penolakan ekspresionisme dan kebangkitan realisme. Karya Max Beckman banyak mengandung unsur kritik sosial pada periode waktu itu seperti dalam salah satu karyanya yang berjudul “The night”,cat minyak diatas kanvas yang dibuat pada tahun 1918. Di Indonesia tokoh maestro aliran ekspresionisme adalah Affandi lahir tahun 1907 dan meninggal pada tahun 1990. Affandi menggunakan tangan sebagai teknik dalam menggores kanvas saat melukis. Objek-objek dalam lukisan Affandi hanyalah sebagai pemantik spirit dan emosi yang kemudian dimuntahkan kedalam kanvas secara ekspresif. Kekuatan emosi dalam lukisan ekspresionis selanjutnya akan mampu membangkitkan emosi apresian yang mengamatinya. Dalam seni lukis kontemporer teknik ekspresionis masih terkadang dilakukan oleh para perupa pada saat ini dimana banyak gagasan kekinian yang ingin diekspresikan secara spontan dan ekspresionistik. Khadir sering mengalami kegelisahan semacam ini dalam kehidupannya tentang hal-hal yang dapat memancing gagasan dalam karyanya. Seperti tentang empati dia terhadap kehidupan masyarakat pasar tradisional yang harus bangun pagi dini hari dan bekerja keras ketika semua orang masih tidur. Ada juga karyanya yang terinspirasi hal-hal yang bersifat enigmatik, samar dan imajiner. 

Khadir Supartini dalam kehidupan kesehariannya banyak dihabiskan di Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah tempat dimana dia tinggal bersama istri dan ibu kandungnya. Sebagai perupa dia sangat mengagumi seniman dengan karya-karya yang ekspresionistik dan banyak memberi influens dalam perkembangan karyanya. Salah satu pelukis Eropa yang dia kagumi adalah Martin Disler lahir di Swiss pada tahun 1949 dan meninggal pada tahun 1996. Martin Disler adalah seorang pelukis dan pematung yang beraliran ekspresionis dan naif cukup pantas jika dia dijuluki perupa avant- garde. Martin Disler juga seorang penulis dan juru gambar namun dia memiliki karakter yang nakal dan tidak disiplin sehingga pernah dikeluarkan dari sekolahnya saat remaja. Kelebihan karya Martin Disler terletak pada kemampuan dia memadukan garis-garis ritmis besar kecil dan warna-warna spontan yang tumpang tindih secara dramatis dan puitis sehingga karya-karyanya dijuluki “Neue wilde” atau sebuah karakter lukisan yang baru dan liar. Lukisan-lukisan Martin sangat lugas,spontan dan impulsif. Image yang muncul dalam lukisannya sangat liar, unik dan naif. Ada beberapa lukisan Martin Disler yang memunculkan teks sebagai penegas semiotika karyanya. 

Sebagai seorang perupa Khadir Supartini cukup produktif dengan karya-karyanya yang relatif berukuran besar. Untuk membangun gairah berkarya Khadir sering mendengarkan musik yang dia sukai seperti Deep Purple, Ac Dc, Nirvana, Sex Pistols, The Rolling Stones, Aerosmith dan musik-musik klasik rock lainnya. Musik yang dia sukai rata-rata yang pernah hit di tahun 70an dan 80an. Saya merasa bahwa musik di tahun tersebut lebih original dan abadi juga sangat cocok untuk menemani saat berkarya seperti yang dilakukan Khadir, bahkan pernah beberapa lukisannya terinspirasi oleh syair lagu dari salah satu album klasik rock tersebut.

Kurator Heri Kris dan Khadir Supartini. (Foto Dok. Pribadi)
Kurator Heri Kris dan Khadir Supartini. (Foto Dok. Pribadi)

Lukisan Khadir banyak sekali yang berukuran besar salah satunya berjudul “Sun never down”,200X360cm, akrilik diatas kanvas,2023. Lukisan tersebut menceritakan tentang bagaimana seandainya matahari tak pernah tenggelam dan kehidupan berjalan tanpa berhenti. Sebuah imajinasi yang liar dalam gagasan dan menabrak kewajaran logika normatif. Lukisan yang ekspresionistik dan impulsif tersebut mengekspresikan alam bawah sadarnya saat mengingat sebuah dinamika kehidupan yang cukup menggangu pikrannya. Selain ekspresionistik dan impulsif karya tersebut juga enigmatik sebab menyimpan misteri yang terkadang sulit diraba oleh audiens. Berbeda dengan lukisan yang bersifat naturalistik maupun realistik, yang lebih komunikatif dan menarasikan objek secara jelas. Karya lukisan Khadir yang menurut saya menarik adalah dengan judul “Scene”, 300X200cm, akrilik diatas kanvas,2023. Lukisan yang digarap dengan background gelap dan bertebaran garis-garis liar namun dramatis dan puitis dengan warna-warna yang kuat. Sebuah lukisan dengan tema pemandangan menurut senimannya namun pemandangan yang dilukiskan disini bukanlah pemandangan alam (land scape) namun sebuah pemandangan alam pikiran (mindscape). Bagi seorang pelukis abstrak maupun ekspresionis “mind scape” adalah sebuah ruang yang terdapat dalam alam pikiran seniman dimana disana bertebaran komponen gagasan yang digarap dalam karya. Dalam lukisan diatas sangat dirasakan bagaimana Khadir menumpahkan emosi dan perasaannya menjadi garis-garis dan goresan dinamis dan ritmis antara garis kecil,medium dan besar yang saling menyilang dan menari dalam irama. Lukisan lain karya Khadir berjudul “Head for feet”,145X185cm, akrilik diatas kanvas,2022. Lukisan tersebut terinspirasi dari filosofi Jawa yang berbunyi “sikil dienggo sirah, sirah dienggo sikil” (kaki dipakai kepala, kepala dipakai kaki) dimana seseorang yang selalu bekerja keras sering diibaratkan bahwa seseorang tersebut seperti kepala dijadikan kaki begitu sebaliknya untuk mengatasi pekerjaan yang memakan banyak waktu dan energi. Sebuah lukisan yang menggambarkan dua image manusia yang kakinya berbentuk kepala dengan komposisi saling berhadapan dan terbalik. Dalam lukisan tersebut sepertinya Khadir ingin mempresentasikan filosofi kehidupan orang Jawa dengan sisi yang lain. Secara semiotika lukisan yang menggambarkan kaki berbentuk kepala adalah penanda tentang filososfi yang mampu menginterpretasikan secara simbolik tentang masyarakat Jawa yang suka bekerja keras. Lukisan Khadir yang bersifat semiotik juga terdapat dalam karya yang berjudul “Rabbit on the wire”,200X400cm, cat minyak diatas kanvas,2022. Lukisan tersebut menggambarkan sebuah pagar yang biasanya terbuat dari bahan kawat dengan objek yang memenuhi seluruh bidang kanvas. Kelinci dan pagar sebagai subject matter tidak digambarkan secara realistik namun hanya sebuah pagar kawat yang kosong tak berisi apa-apa. 

Sungguh unik mengamati karya-karya Khadir Supartini dengan tema yang banyak mengangkat persoalan personalitas. Seolah kita dibuat hanyut dalam emosi dan ekspresi liarnya yang terkadang misteri. Pameran “Behind the eye” ini mengajak kita untuk memaknai bahwa mata adalah indera penting yang dapat melihat banyak hal. Mata dapat menangkap tanda-tanda dalam kehidupan yang mampu menggangu kejiwaan seseorang. Mata juga mampu merespon segala peristiwa dari luar yang dapat membentuk karakter seseorang. Namun juga dengan mata kita dapat berkarya secara kreatif dan inovatif. Selamat berpameran Khadir semoga selalu sukses dalam berkesenian.

Yogyakarta, 8 Mei 2023

*Penulis adalah perupa dan kurator alumni ISI Yogyakarta