Oleh: Agustini, M.Psi.,Psikolog dan Aulia Kirana, M.Psi.

Keluarga merupakan rumah yang memiliki peranan penting dalam menjaga dan melindungi anak. Keluarga merupakan tempat bagi anak-anak untuk mendapatkan kenyamanan serta kebahagiaan. Namun bagi segelintir anak-anak, keluarga ternyata gagal menjadi “rumah” bagi mereka untuk mendapatkan kebahagiaan dan kenyamanan. Dalam perlindungan anak masih menjadi tanggung jawab berbagai pihak, seperti: orang tua, kelurarga, masyarakat, dan negara. Perlindungan anak melindungi kondisi psikologis terutama dalam perkembangan kejiwaan, sehingga anak dapat berkembang dengan baik secara jiwa maupun psikis.

Dalam UUD tentang perlindungan anak, salah satunya adalah anak mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Kekerasan seksual merupakan kasus yang serius dan tidak dapat dianggap sebelah mata. Kekerasan seksual terhadap anak terjadi terutama di kalangan anak perempuan yang lebih banyak menjadi sasaran. Korban kekerasan seksual sebagian besar mengalami simtom-simtom fisik dan stres emosional.

Kekerasan seksual akhir-akhir ini mulai banyak bermunculan berkaitan dengan kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga (incest). Banyak pelaku kekerasan seksual terhadap anak berasal dari lingkungan keluarga terdekat. Kekerasan seksual sering dilakukan oleh orang terdekat seperti: orang tua pada anak, paman pada keponakan, ataupun kakek pada cucu. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya unsur kekuasaan, sehingga anak tidak mampu berbuat apapun karena merasa takut. 

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2019 menyebutkan bahwa kekerasan seksual di ranah personal dilakukan oleh anggota keluarga, incest atau kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang dilingkungan terdekat korban. Hal ini merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan. Sebanyak 1.071 kasus yang melaporkannya, selebihnya mereka tidak melaporkan pada pihak yang berwajib. KPAI mengelompokkan dari kejadian kekerasannya terdapat 62% terjadi di lingkungan terdekat, sedangkan 38% di ranah publik. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat adanya peningkatan permohonan perlindungan kekerasan seksual pada anak. Bahkan jumlah ini melebihi tindak pidana lain. Kasus kekerasan seksual salah satu kasus yang mengkhawatirkan saat ini. 

Kendala yang menghambat seseorang melaporkan kasus kekerasan seksual dikarenakan mereka merasa ketakutan. Kebanyakan anak tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban kekerasan seksual dan sulit untuk mempercayai orang lain, sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Korban kekerasan seksual merasa malu menceritakan peristiwa yang dialaminya serta beranggapan bahwa peristiwa tersebut merupakan kesalahan dirinya. Peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa dirinya akan mempermalukan nama keluarganya. Maka dari itu, beberapa kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan dari diri korban itu sendiri.

Korban merupakan pihak yang paling dirugikan yang akan berdampak pada gangguan fisik maupun psikis mereka. Kekerasan seksual yang dialami oleh korban mengakibatkan terenggutnya kehormatan yang selama ini dijaga, sehingga akan menimbulkan gangguan mental dalam waktu yang berkepanjangan. Dampak pada korban kekerasan seksual atau pemerkosaan akan mengalami trauma psikologis yang sangat hebat serta adanya dorongan yang kuat untuk melakukan bunuh diri. Fakta tersebut membuat dampak yang luar biasa bagi perkembangan hidup korban kekerasan seksual dalam jangka waktu yang panjang.

Anak yang menjadi korban kekerasan seksual memiliki trauma ketika mereka tidak mampu menyimpan semuanya sendiri dan ketika dewasa mereka tidak dapat mengontrol emosinya serta membenci dirinya. Dampak kekerasan seksual pada anak akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Sedangkan dampak lainnya kekerasan seksual bagi korban menimbulkan traumatis pada masa kanak-kanak hingga pada saat dewasa.

Kekerasan seksual merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih dewasa, seperti: orang asing, saudara, atau ayah kandung. Anak menjadi salah satu obyek pemuas kebutuhan seksual bagi pelaku. Hal tersebut dapat menimbulkan rasa tidak suka bahkan timbul rasa kebencian yang mendalam pada korban terhadap pelaku. Kebanyakan korban dalam meredakan kemarahannya berfikir untuk membalas dendam terhadap pelaku dengan melampiaskan rasa dendam serta rasa marah pada pelaku. 

Korban sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual, sehingga korban akan lebih cenderung menyimpan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Korban sering merasa bersalah pada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan kecewa akan kejadian yang tidak pernah diinginkannya. Korban merasa tertekan dan terancam ketika pelaku mengancam korban, sehingga menimbulkan perasaan takut yang mendalam pada korban serta tidak nyaman dan tidak mau menyampaikan pada pihak lain karena takut kehidupannya akan terancam dan merasa malu pada dirinya. Ketika anak menjadi korban kekerasan seksual menghadapi kondisi psikologis tersebut, mereka membutuhkan dukungan serta bantuan dari orang lain, seperti: keluarga, saudara, teman, maupun tenaga profesional seperti psikolog. Berikut ini adalah beberapa langkah yang dapat di lakukan untuk mencegah kekerasan seksual pada anak.

Pertama, komunikasi terbuka. Membangun komunikasi yang terbuka antara orang tua dengan anak-anak adalah langkah awal yang penting, orang tua dapat mengajarkan anak-anak untuk berbicara tentang tubuh mereka, batasan-batasan pribadi, dan hak-hak mereka. Pastikan anak-anak mengerti bahwa mereka dapat mengungkapkan rasa tidak nyaman dan meminta bantuan jika mereka merasa terancam.

Kedua, pendidikan seksual yang tepat dengan usia anak. Ajarkan anak-anak mengenai seksualitas dan tubuh mereka secara bertahap sesuai dengan usia mereka. Berikan informasi yang tepat dan sesuai dengan perkembangan mereka agar mereka memahami batasan-batasan yang sehat dalam interaksi sosial dan dapat mengidentifikasi perilaku yang tidak pantas.

Ketiga, pengawasan dan pengawalan. Berikan pengawasan yang memadai terhadap anak-anak, terutama saat bermain dengan teman-teman atau pun pada saat bermain dengan orang dewasa, awasi anak-anak saat berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal pada saat di luar rumah atau ketika menggunakan teknologi digital. Penting bagi orang tua untuk mengawasi aktivitas online anak-anak dan memastikan mereka tidak berkomunikasi dengan orang yang tidak di kenal.

Keempat, identifikasi tanda-tanda peringatan. Sebagai orang tua harus jeli dalam memahami perubahan sikap pada anak, seperti perubahan perilaku drastis yang awalnya ceria tiba tiba menjadi pendiam, menurunnya perfoma akademik, dan menemukan cedera fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh anak. Jika orang tua mencurigai bahwa seorang anak mungkin menjadi korban kekerasan seksual, laporkan hal tersebut kepada pihak yang berwenang.

Kelima, Pelatihan keamanan pribadi. Ajarkan anak-anak keterampilan keamanan pribadi, seperti tidak mudah percaya pada orang yang baru dikenal, mengenal orang orang yang bissa dipercaya, memahami batasan-batasan fisik yang sehat, dan melaporkan perilaku yang tidak pantas kepada orang dewasa yang mereka percaya.

Referensi

Ellsworth, L. (2007). Choosing to Heal: Using Reality Therapy in Treatment of Sexually Abused Children. New York: Routledge.

Http://www.ecpatindonesia.org/ (diakses pada 15 april 2019)

Hidayatullah, S .,& Argiati, B. H. S. (2013) Dinamika psikologi dan perilaku forgiveness bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Jurnal spirits, vol.4/ 01,issn: 2087‐7641.

Huraerah, A. (2007). Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta: Penerbit Nuansa.

Kristiani, Renata. (2010). “Haruskah Anak Kita Menjadi Korban?” Newsletter Pulih, Volume 15 tahun 2010, hal. 4. Jakarta: Yayasan Pulih.

Lubis. 2013. Psikologi kespro: Wanita & perkembangan reproduksinya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Noviana, I. (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial;Kementrian Sosial RI.

Ronken, C. & Johnston, H. (2012). Child sexual assault: Facts and statistics. Queensland: Bravehearts.

Nurwati, N., & Krisnani, H. (2019). Dampak Dan Penanganan Kekerasan Seksual Anak  Di Keluarga. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat6(1), 10-20.

Putri, D., & Nurhamlin, N. (2018). Profil Korban Kekerasan terhadap Anak di Kota Pekanbaru (Doctoral dissertation, Riau University).

Supardi & Sadarjoen. (2006). Dampak psikologis pelecehan seksual pada anak perempuan. Dikutip dari http://www.kompas.com/ pada tanggal 20 Oktober 2015.

Sisca, H., & Moningka, C. (2009). Resiliensi perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa kanak-kanak. Jurnal Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Sipil) Vol : 3 Oktober 2009

Yolandasari, A. R. (2015). Penyebab atau Penyembuh? Kekerasan Seksual terhadap Lesbian,Jurnal Perempuan. Vol. 20 (4), Hal. 86-96.Yuwono, I. D. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.