Oleh: Heri Kris (Perupa dan Kurator Alumni ISI Yogyakarta)

Post hybrid adalah tema yang diusung dalam sebuah pameran bersama oleh kelompok seni rupa Magetiart di Pendhapa Art Space Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta pada Juni 2023. Kelompok seni rupa Magetiart didirikan di Magetan tahun 2017 yang anggotanya sebagian besar berasal dari kota Magetan. Saya mengenal mereka dan karya-karyanya sejak saya menguratori pameran mereka dengan tema “Lang-lang rupa” pada tahun 2019. Dan yang terakhir saya juga menguratori pameran “Magetan Art Venue” pada 2022 yang lalu. 

Magetan termasuk salah satu kota yang berada di tepi dari peta seni rupa Indonesia, namun semangat dan gairah berkesenian mereka cukup kuat untuk melahirkan karya-karya yang progresif. Pada pameran saat ini mereka mengangkat tema “Post hybrid” dimana karya-karya mereka adalah representasi dari buah pemikiran dan kekaryaan tentang perpaduan dan perkawinan antar elemen budaya yang diolah menjadi karya kekinian. Perpaduan maupun perkawinan unsur-unsur budaya tersebut melewati proses berkesenian yang cukup lama. Mereka para perupa yang terlibat dalam pameran tersebut  diantaranya : Agus Wicaksono, Agung WHS, Agus Zuga, Hendra Prast, Abd.Mukti, Nurina, Hariyanto, Mahendra Yudha, Romdon Hamdani, Rio Wahyu Anggoro, Subekti Gagar, Zulfian Hariyadi, Eko Sudarmawan, Nanang yulianto, Wahyuono. 

Dalam pameran ini mereka menghadirkan karya-karya yang sesuai dengan spirit dan karakter masing-masing. Karya mereka relatif besar dengan ukuran sekitar dua meter salah satu sisinya dengan gaya yang berbeda satu dengan lainnya. Proses kurasi yang saya lakukan secara on line setiap dua minggu sekali dalam bentuk presentasi untuk membedah karya dari beberapa sisi. Rutinitas presentasi tersebut untuk membahas tentang gagasan, teknik, konsep karya dan sebagainya sejak lima bulan yang lalu. Proses kurasi tersebut untuk mencari dan menentukan kwalitas karya yang baik. Dalam pameran tersebut karya mereka banyak mengawinkan unsur-unsur budaya yang disebut cultural universal. Magetan yang masih kuat unsur tradisinya seperti wayang klasik, tarian tradisional, adat budaya dan sebagainya. 

Hal tersebut juga banyak menginspirasi mereka dalam berkarya termasuk beberapa perupa juga merespon budaya kontemporer yang selalu berubah. Informasi seni budaya yang diserap dari media sosial juga banyak memberi pengaruh (influens) yang besar tentang perkembangan karya mereka, sebab karya-karya kontemporer banyak mengangkat isu kekinian. Tentang karya kontemporer biasanya sangat dipengaruhi oleh sistem pengetahuan, dimana pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh mitos, tradisi, berita ataupun ilmu yang membangun pengetahuan dalam menyerap segala informasi kekinian. Oleh sebab itu kita bisa menentukan unsur mana yang akan kita pilih untuk meramu tentang segala hal dalam sebuah karya seni yang selanjutnya ditampilkan ke publik sebagai “Post hybrid” lewat tanda dalam karya. Tanda ataupun simbol dalam sebuah karya merupakan pintu pembuka pemahaman tentang narasi maupun makna yang ada didalamnya. Namun tak bisa dielak bahwa juga banyak karya (lukisan) yang membangun misteri yang bersifat enigmatik. Biasanya karya-karya enigmatik ada pada lukisan ekspresionis yag secara spontan mengekspresikan spirit diri, atau beberapa karya abstrak yang mempresentasikan hal-hal yang samar.

Magetan sekitar lima tahun yang lalu tidak cukup dikenal kiprahnya di dunia seni rupa Indonesia, namun akhir-akhir ini mulai muncul aktivitas kegiatan seni rupa yang cukup penting dan berkwalitas yang mereka selenggarakan. Tidak banyak juga perupa yang aktif dengan agenda seni rupa disana. Anggota Magetiart mungkin jumlahnya hanya sekitar 30 seniman dan sebagian besar adalah pelukis. Namun demikian dari ke seluruhan anggota Magetiart hanya setengahnya yang serius dan aktif berkarya dan berpameran secara profesional saat ini. Magetiart secara berkala mengadakan forum diskusi untuk sharing pengetahuan dan juga sering mengadakan kegiatan berkarya bersama untuk mengasah skill pada diri mereka. 

Pada pameran “Post hybrid” di Pendhapa art space saat ini mereka memamerkan sekitar 30 karya lukisan yang masing-masing memiliki gaya yang berbeda satu dengan lainnya. Seperti yang terdapat pada karya lukisan Agus Wicak, Zulfian Hariyadi dan Nurina. Mereka bertiga sama-sama mengangkat gaya dekoratif dalam lukisannya. Gaya ini telah lama dilakukan oleh para leluhur kita seperti pada batik dan wayang kulit maupun wayang beber. Gaya dekoratif dalam seni klasik dan tradisional ini spiritnya di ekspresikan oleh Agus dan Zulfian juga Nurina kedalam lukisan yang lebih kekinian temanya. Kita bisa simak pada lukisan yang berjudul “Sesarang” tahun 2023 karya Zulfian dan “Eksodus” tahun 2023 karya Agus Wicak. Nurina juga menggunakan gaya dekoratif yang sedikit childish dengan warna-warna shoft. 

Ada lukisan yang bergaya surealistik seperti pada karya Hendra Prast, Rio Wahyu Anggoro, Agus Zuga dan Mahendra Yuda. Mereka mengangkat gaya surealis yang kebanyakan terinspirasi dari alam mimpi maupun alam imajiner. Esensi dari gaya surelistik tersebut adalah sebuah keadaan yang diatas kehidupan normal. Agus Zuga memamerkan karya lukisan yang berjudul “Instincless machine” tahun 2023, lukisan tersebut menggambarkan perang robot. Mesin ataupun robot buatan manusia dalam bergerak sejatinya tidak pernah menggunakan perasaan. Rio Wahyu menampilkan lukisan berjudul “Playing battle” tahun 2023 yang sangat imajinatif. Dalam lukisan tersebut menggambarkan kondisi permainan imajiner dari benda-benda yang beterbangan. Hendra Prast menampilkan lukisan dengan judul “Hanoman in wonderland” tahun 2023. 

Lukisan tersebut memadukan unsur cerita legenda masyarakat Jawa dengan hal-hal kekinian dengan mendeformasi objek-objek yang ada dalam lukisan tersebut. Sekarang di Indonesia sedang terjadi mainstream pop surealis seperti yang terjadi di Amerika tahun 70an dimana gerakan underground kelompok Lowbrow muncul menjadi gaya tersendiri. Mereka memasukkan unsur-unsur budaya pop, mainan, komik dan sebagainya. Kemunculan kelompok Lowbrow sebagai perlawanan dari kecenderungan karya-karya abstrak dan konseptual waktu itu. Di Indonesia saat ini juga banyak seniman muda yang melukiskan tema tentang boneka, kartun dalam komik maupun film yang dikemas dalam karya yang surealistik.

Namun di era kontemporer sekarang aliran tidak lagi menjadi parameter dalam menilai karya seniman maupun menilai gerakan sebuah kelompok, akan tetapi lebih pada gagasan dan teknik personal seniman dalam menyuguhkan sebuah karya. Dalam seni modern barat aliran yang berkembang adalah sebuah manifestasi tentang gerakan yang didasari sebuah alasan ideologi dalam seni rupa pada waktu itu. Perkembangan seni kontemporer Indonesia sangat beragam dan silih berganti kecenderungan yang dihadirkan. Seperti yang dilakukan kelompok Magetiart saat ini yang juga memiliki keragaman gaya dan konsep karya. Ada beberapa karya abstrak dalam pameran ini yang dibuat oleh Nanang Yulianto dan Subekti Gagar. Kedua pelukis ini memamerkan lukisan yang tidak berbentuk, namun hanya goresan-goresan intuitif dan sedikit image yang samar yang bersifat misteri. Seperti dalam lukisan Nanang yang berjudul “Setubuh” tahun 2023, dimana karya ini berbicara tentang sebuah perbedaan dua sifat yang berlawanan tentang hal-hal yang lembut dan kasar yang dipadu dalam satu kanvas. Subekti Gagar menyuguhkan lukisan abstrak intuitif dengan teknik pointilis seperti pada karya yang berjudul “Negeriku jiwaku” tahun 2023. Lukisan tersebut mengekspresikan kekagumannya pada alam Indonesia yang begitu indah, namun cara penyajiannya dengan bahasa abstraksi. Karya abstrak biasanya mudah untuk memberikan peluang penafsiran yang bermacam-macam pada apresian. Banyak pelukis barat yang mempelopori karya dengan aliran abstrak seperti Willem de kooning, Wassily Kandinsky, Jackson Pollock dan lainnya yang karyanya sudah mendunia.

Ada salah satu pelukis yang aktif mengasuh pondok pesantren di Magetan yang bernama Abd. Mukti. Ia turut dalam pameran Post Hybrid itu. Lukisannya terinspirasi dari kaligrafi huruf Arab dan beberapa huruf Jawa juga huruf-huruf lainnya. Perpaduan tumpang tindih huruf-huruf tersebut disusun secara acak dan intuitif seperti pada lukisan yang berjudul “Tasamuh” atau yang berarti toleransi dibuat tahun 2023. Lukisan tersebut menyimpan sebuah semiotika tentang arti kebersamaan dari sebuah perbedaan. Karya yang bersifat semiotik juga terdapat pada lukisan Agung WHS yang berjudul “Nyimas Utari” tahun 2023. Raden Ayu Utari Sandi Jaya Ningsih atau lebih dikenal dengan nama Nyimas Utari adalah seorang pejuang dijaman Belanda yang bertugas menyamar sebagai mata-mata Mataram untuk membunuh gubernur VOC Jan Pieterszoon di Batavia tahun 1629. Lukisan tersebut dibuat dengan gaya kekinian walaupun mengambil ide dari peristiwa jaman dulu. Lukisan yang mengekspresikan nilai-nilai perjuangan juga terdapat pada lukisan Hariyanto yang berjudul “Imagine” tahun 2023. Hariyanto adalah seorang pensiunan tentara yang tentunya dunia militer sangat dekat dengan dirinya. Lukisan dengan mengekspresikan situasi perang Rusia dan Ukraina tersebut dibungkus denga judul imagine salah satu judul lagu dari kelompok musik The Beatles yang isinya menghimbau sebuah perdamaian dunia. Pada akhirnya seorang tentarapun selalu merindukan perdamaian dan menghindari pertikaian. Berbeda dengan karya Romdon Hamdani dimana sisa-sisa peninggalan masa lalu yang berbentuk puing-puing candi disandingkan dengan simbol-simbol benda kekinian dalam sebuah karya. Kedua benda beda jaman tersebut disusun menjadi satu narasi yang memberi kesan artefak. Wahyuono menampilkan cerita pewayangan tentang perang, namun dalam lukisan yang berjudul “Baratayudha” tahun 2023 tersebut diekspresikan dengan perang dalam konteks sekarang. Sebuah pertempuran dengan menggunakan alat perang yang canggih yang dapat dengan mudah merenggut banyak nyawa manusia serta menghancurkan gedung-gedung besar dan rumah-rumah penduduk. Dunia pewayangan juga dilukis oleh Eko Sudarmawan dengan menampilkan lukisan yang berjudul “Pelipur lara” tahun 2023. Dalam lukisan tersebut menampilkan dua sosok wayang yang bernama Cangik dan Lembuk yang sedang bermain musik biola dan saxophone. Suasana lukisan tersebut sungguh “nglangut” dengan background gelap dan sepi.

Pameran Bersama kelompok Magetiart dengan tema Post hybrid ini telah menunjukkan bahwa kota Magetan sebenarnya memiliki beberapa perupa yang punya potensi besar dalam dunia seni rupa. Tinggal bagaimana potensi tersebut dikelola secara profesional dan progresif. Dalam era keterbukaan dan majunya dunia internet sekarang ini memberi dampak positif bagi dunia seni kita, yang mana segala informasi tentang seni bisa diakses dengan cepat. Sehingga setiap orang tidak lagi merasa termarginalkan. Selamat berpameran semoga Magetiart terus berkembang pesat dan sukses dimasa depan.

Yogyakarta, 11 Juni 2023